CERPEN : ANAMNESIS

          


         Entah iblis mana yang merasuki sukmaku sehingga aku berani mendatangi kampung ini. Bermodal nekat dan kekecewaan terhadap ganasnya kehidupan ibukota aku memutuskan untuk pulang kembali. Sebenarnya kampung ini tidak begitu istimewa, hanya salah seorang prianya saja yang membuatku ingin mendatangi kampung ini. Juga sebenarnya ada rasa malu dan bersalah yang membuatku ingin memperbaikinya. Aku sudah berjanji untuk tidak menyesal atas keputusan gilaku ini karena hal ini memang yang benar-benar aku inginkan.
            Dalam otakku, ingatan tentang kenangan pertama aku bertemu dengan pria itu masih sangat jelas, seterang purnama ketika mausia belum bertemu listrik. Ceritanya, keluargaku adalah keluarga pindahan dari provinsi tetangga. Ayahku dipindahtugaskan untuk bekerja di kampung ini. Agar diterima masyarakat sekitar, ayahku mengadakan syukuran di rumah baru. Tetangga sekitar diundang untuk mengaji. Sebelumnya, keluargaku sibuk mempersiapkan syukuran ini. Aku disuruh pergi ke warung untuk membeli kecap karena ibu lupa membelinya waktu di pasar. Dengan santai dan nekatnya aku pergi ke warung yang ada di kampungku yang ternyata lumayan jauh dari rumah. Di warung itulah aku bertemu pria itu. Dia anak pemilik warung. Dia sedang sibuk membaca buku. Kulihat judulnya, Sherlock Holmes.
 “Suka cerita detektif-detektifan ya mas?” tanyaku basa-basi. Dia menoleh ke arahku. Lalu kaget dan membuang buku yang dia pegang. Respon yang sangat terlambat. Lucu dan konyol. Seharusnya ada orang lain yang melihat reaksinya untuk menemaniku tertawa. Dia gelagapan melihatku lalu menjawab “Oh ini, hanya sekedar iseng-iseng saja kok,” ujarnya dengan nada yang tidak teratur. Aku bingung dengan sikapnya. Apakah dia seorang pengidap autis atau apa? Ah, aku buang jauh pikiranku itu lalu aku kembali ke maksud kedatanganku.
“Ada kecap mas?” tanyaku. Dia tidak menjawab hanya berdiri dan mencari kecap yang dimaksud olehku. Pria ini sangat pemalu. Dia bahkan tidak berani menatapku. Dia menyerahkan kecap itu kemudian aku memberinya uang untuk membayar kecapnya.
“Ga ada uang kecil mbak?” tanyanya.
“Cuma ada itu mas,” kujawab jujur.
 “Oh, yaudah nanti aku ke rumah mbaknya sambil bawa kembaliannya ya. Mbak yang tinggal di rumah baru itu kan?” sekarang dia berani bicara meski masih tidak berani menatap mataku. Seolah, aku adalah Medusa, yang jika dia melihatku dia akan berubah menjadi batu.
“Oh ya. Gapapa. Mayandra.” Dia kebingungan. Tidak tahu maksud perkataanku. “Namaku Mayandra. Panggil aku Mae. Kita seumuran kan,” kukenalkan diriku padanya. Toh juga besok-besok aku dan dia akan kerap bertemu. “Sst.. Steven,” jawabnya gagap. Ganti aku yang kebingungan. Apakah di kampung seperti ini ada nama sekeren itu? Aku tidak ambil pusing. Aku pamit pulang.
            Itu adalah impresi pertamaku dengannya. Dia sangat pemalu. Kesan pertamaku dengannya yang mulai tumbuh itu kemudian rontok di sore hari ketika aku melihatnya di belakang rumah sedang membantu menyiapkan acara syukuran.  Aku berniat untuk keluar kamar. Dia  sedang berkumpul bersama teman-temannya.. Dia tertawa terbahak-bahak bersama kumpulannya. Entah sedang menceritakan apa. Kuberanikan diri memanggil namanya “Steven”. Lalu teman-temannya tertegun. Tanpa aba-aba, mereka menatapku. Beberapa detik kemudian mereka tertawa. Sangat keras. Lalu mereka memberi uang pada Steven.
            Pria itu mendekatiku. “Hey Mae,” sapanya. Beda sekali sikapnya dengan  tadi di warung.. Aku keheranan. “Kenapa mereka tertawa?” tanyaku. Dia membisikiku. “Namaku Bambang sebenarnya. Aku taruhan dengan mereka kalau kau akan menyapaku duluan,” Nada bicaranya datar seolah tak punya rasa bersalah.
Kurang ajar. Aku dijadikan bahan taruhan. Aku mencubitnya. “Iih,, ga asik banget sih.”
“Awww… sakit! Ayo Mae, kukenalkan pada teman-temanku,” ajaknya masih dengan tanpa dosa. Bahkan dia tidak meminta maaf padaku.
 “Ah ogah. Males.” jawabku dengan nada marah.
 “Males apa malu?” dia mengejekku sambil tertawa. Dasar pria aneh. Aku kembali ke kamarku. Jengkel dengan tingkah anehnya yang bak bunglon. Tapi dalam hati ada rasa gembira. Seolah dia sudah mengenalku sangat lama. Ketika itu tak pernah terpikir bahwa pria itu akan menjadi manusia paling berarti di hidupku sampai sekarang ini.
Begitulah awal mula aku dan Bambang memulai pertemanan. Ternyata kalau dipikir-pikir lagi, sangat sulit melupakan orang yang memberi banyak kenangan. Konsep kesan pertama yang sudah kupahami dengan gampangnya dia kacaukan. Setelah pertemuan di acara syukuran itu aku dan Bambang jadi lebih dekat. Bukan cuma Bambang, dengan semua teman sekampung rasanya aku juga cepat membaur. Itu semua karena peran Bambang.
Kembali dari dunia khayalan. Sudah terbentang sawah hijau di sepanjang jalan kampung ini. Meskipun tidak seluas dulu, namun rasanya sangat tentram melihat pemandangan alami ini. Sangat lucu bagaimana waktu cepat berlalu dan tidak ada yang terjadi. Tapi ketika melihat kebelakang semuanya sangat berbeda.
Dulu, aku biasa diajak Bambang bermain di sawah bersama teman sekampung. Meski waktu itu aku sudah kelas 1 SMA tapi banyak remaja disini yang tidak melanjutkan pendidikannya. Paling banter mereka hanya lulus SMP. Tidak untuk Bambang. Dia mendapat beasiswa untuk lanjut ke SMA karena kepandaiannya. Jadinya hanya aku dan Bambang yang melanjutkan sekolah diantara teman sekampung.
Tidak terasa aku hampir sampai di dekat rumah Bambang. Aku masih hapal jalan ke rumahnya. Nuansa kampung ini sangat kentara. Hampir tidak ada beda ketika dulu ku tinggalkan. Dari kejauhan rumah itu sudah kelihatan. Rumah yang didepannya ada warung kecil tempat pertama aku bertemu dengannya. Masih sama seperti yang dulu, tapi sekarang kelihatan kotor. Apakah tidak ada yang mengurusnya?
Sampai di depan rumah, aku terdiam mematung. Perasaanku campur aduk. Antara bahagia dan sedih. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang sejak dulu menggangguku. Apakah Bambang mau memaafkanku? Lalu seandainya dia sudah memaafkan selanjutnya apa? Apa yang akan kulakukan?
Pertanyaan yang selalu membuatku penasaran. Masalahnya adalah dulu ketika terakhir aku bersemuka dengan Bambang aku masih berhutang jawaban dengannya. Aku merasa bersalah. Kututup mataku membayangkan peristiwa menyesakkan itu.
Waktu itu, di kolam ikan biasanya aku dan Bambang nongkrong, Bambang menyatakan cintanya padaku. Sebenarnya kata-kata itulah yang sejak lama kutunggu. Tapi keadaan yang justru membuatnya menjadi runyam. Bambang menyatakan cinta sebelum hari kelulusan. Dia mengatakannya seminggu sebelum aku pergi ke Jakarta. Memang aku belum mengatakan rencana kepindahanku padanya. Aku rasa tidak penting memberitahunya karena aku mengira dia tidak akan pernah mengatakan hal itu. Bambang tidak pernah serius jika kutanyai tentang seseorang yang dicintainya. Memang aku dan Bambang sangat dekat. Tapi aku selalu merasa Bambang hanya menganggap hubungan ini sebatas teman, atau paling banter dia lebih menganggapku seperti adiknya. Meskipun aku menyimpan rasa yang dalam kepadanya.
“Mae, lihatlah awan disana!” Bambang membuka percakapan setelah dia selesai memberi makan ikan-ikan peliharaannya.
“Untuk apa? Setiap hari aku sudah melihatnya.” balasku karena merasa Bambang akan membicarakan sesuatu yang konyol. Seperti biasanya.
“Mae, mungkin ini terdengar aneh tapi melihat awan itu aku ingin mengatkan padamu kalau aku menyukaimu.” Bambang berbicara sambil masih menatap awan yang berusaha dia perlihatkan padaku.
Aku sangat kaget. Ah, pasti Bambang hanya bercanda. “Apa hubungannya awan dengan perasaan?,” jawabku seolah tidak peduli meski jantungku berdentum seperti akan luruh.
“ Tidak ada hubungannya sama sekali. Apakah kau menyukaiku?” katanya sekarang mencoba menatapku.
“Aku sedang malas bercanda.” jawabku acuh.
“Ini serius Mae. Kita sebentar lagi akan lulus. Aku sudah membuat rencana untuk masa depanku dan tahukah kau? Kau adalah bagian penting di dalamnya. Ini serius.”
“Maksudnya?” aku pura-pura bodoh karena aku masih tidak percaya apa yang dikatakannya saat itu.
“Aku tahu kau mempunyai mimpi untuk menjadi bintang film atau model. Aku rasa tidak lama lagi kau akan pergi dari kampung ini. Jadi sebelum kau pergi aku ingin mengetahui apakah kau mencintaiku atau tidak. Jika kau mencintaiku maka aku ingin kau tinggal disini, menikah denganku. Jadilah ibu dari anak-anakku. Nenek dari cucuku. ”
“….” aku terdiam. Sulit sekali mencerna apa yang dikatakannya. Kata-kata yang sungguh ingin kudengar sejak dulu. Hanya saja ….
“Apa jawabanmu Mae?”
“Aku tidak tahu Bam. Sulit untuk menjawabnya sekarang,” aku bingung setengah mati. “Seminggu lagi aku akan ke Jakarta. Nenekku sedang sakit parah. Keluargaku ingin mengurus nenekku. Aku tidak bisa memberi jawaban sekarang. Aku akan memikirkannya. Besok akan kuberi jawabannya.” akhirnya kujelaskan juga perihal kepergianku ke Jakarta.
“Seminggu? Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?”
“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” kubalas pertanyaannya.
“Cinta tidak perlu dikatakan. Cinta hanya perlu dipertunjukkan.”
“Itu namanya egois,” entah kenapa aku marah kepadanya, “apa kau tidak memikirkan orang lain yang mencintaimu? Terlebih, mana bisa orang tahu kalau kau mencintainya tapi kau tidak pernah mengatakannya?” aku sangat marah mendengar jawabannya.
“Tapi kan sekarang aku sudah mengatakannya.”
“Terlambat!” aku sangat marah dengan perlakuannya terhadap perasaan, terutama cinta. “Bam, kuberi tahu. Kau itu munafik. Sejak dulu kau suka menceramahiku tentang hidup dalam realitas tapi kenapa kau membohongi perasaanmu? Ku rasa kau tidak benar-benar mencintaiku. Kau hanya mencintai gagasan tentang cintamu.” mendengar ucapanku Bambang hanya terdiam.
“Sudah sore. Aku ingin pulang.” Aku yang masih emosi ini buru-buru meninggalkan Bambang sendirian. Aku sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Seharusnya aku menoleh ke arahnya. Sampai sekarang aku masih menyesalinya.
“Kutunggu kau disini besok Mae. Di jam ini. Tempat ini. Banyak yang perlu kita bicarakan.”
Itulah kali terakhir aku mendengar suara Bambang. Besok yang kujanjikan pada Bambang kini sudah berumur dua puluh tahun! Janjiku pada Bambang tidak kutepati. Sepulang dari kolam ikan itu, ternyata keluargaku sudah menungguku.
Nenek yang sudah sakit parah akhirnya meninggal. Sampai di depan rumah orang tuaku sudah menunggu. Aku langsung disuruh naik ke mobil yang sudah menyala. Bukan minggu depan, tapi hari ini aku pergi ke Jakarta. Semua barang keperluan sudah dimasukkan ke mobil. Orang tuaku juga sudah berpamitan kepada tetangga kanan kiri. Ingin sekali aku kembali ke kolam ikan itu dan mengatakan pada Bambang apa yang benar-benar kurasakan padanya. Tapi ayah memaksaku untuk cepat naik mobil demi mengejar waktu. Dengan berat hati aku mengikuti perintahnya.
            Aku memang gila. Dua puluh tahun aku meninggalkannya dan sekarang setelah aku gagal menjadi bintang film aku kembali ke kampung ini. Memang aku pernah bermain dalam beberapa film, tapi aku tidak menjadi pemeran utamanya. Sulit sekali bersaing disini. Mimpiku perlahan mulai pupus.
            Kisah cintaku juga mengenaskan. Selama di Jakarta aku pernah menikah tiga kali. Pertama dengan seorang sutradara tidak laku. Lalu aku menceraikannya. Kedua dengan seorang produser. Tapi beberapa bulan kuketahui ternyata aku hanya menjadi simpanannya. Kemudian kami bercerai. Terakhir dengan seorang pengusaha. Kami tidak bercerai. Dia meninggal. Aku belum punya keturunan sampai sekarang di usiaku yang menginjak kepala empat. Janda kaya raya yang kesepian.
            Aku, janda kaya tanpa keturunan ini sekarang kembali ke kampung masa kecilku demi seorang pria. Aku tidak peduli apakah dia sudah menikah atau punya anak, yang penting aku akan menemuinya dan memberikannya jawaban yang sejak lama mengganggu pikiranku, mungkin juga pikirannya.
            Sebenarnya ada kesempatan untuk mengirim surat kepadanya setelah aku di Jakarta. Tapi aku dan Bambang pernah berjanji untuk tidak saling berkirim surat. Hal ini karena alasan konyol. Bambang pernah menuliskan surat cinta padaku tapi bukan darinya. Dia disuruh oleh teman satu gengnya yang naksir padaku. Aku marah pada Bambang. Dia meminta maaf dan kami berjanji untuk tidak pernah bermain surat-suratan.
            Terdengar suara dari samping kananku yang mengganggu lamunanku. “Maaf, ibu mencari siapa ya?” ada anak kecil yang sedang beternak kambing menghampiriku. “Pak Bambangnya ada?” tanyaku pada si bocah. “Ibu siapa ya?” dia balas menanyaiku. “Mayandra. Panggil saja Bu Mae” aku mengenalkan diriku.
            Anak kecil itu terkaget mendengar namaku. Setelah diam beberapa detik dia lalu mengajakku ke tempat dimana aku bisa bertemu Bambang. Aku mengikutinya. Aku masih heran mengapa anak itu kaget mendengar namaku. Apakah dia tahu sejarahku dan Bambang? Ah aku tidak peduli.
            Tunggu dulu, aku ingat jalan setapak ini. Ini jalan menuju kolam ikan itu. Tidak salah lagi. Beberapa mneit kemudian aku sudah sampai di kolam ikan bersejarah ini. Aku tidak melihat Bambang disana. Di samping kolam itu hanya ada kuburan kecil. Astaga. Apa maksudnya ini?
            “Pak Bambang selalu ada disini. Kisahnya sudah menjadi dongeng di kampung ini.” kata si bocah. Setelah menceritakan sedikit tentang Bambang, bocah itu pamit untuk melanjutkan penggembalannya. Setelah si bocah pergi aku baru sadar apa maksud perkataannya. Bambang sudah meninggal. Di batu nisan terulis namaku dan namanya. Meninggal kira-kira 5 tahun setelah aku pergi dari kampung ini.
            Jantungku hampir copot. Lidahku kelu. Badanku kaku. Yang ada hanya tetesan air mata di pipiku. Sedih sekali aku megetahui hal ini. Aku menyesal. Sangat menyesal karena meninggalkannya waktu itu. Seandainya aku tidak buru-buru meninggalkannya. Seandainya aku langsung memberi jawaban padanya. Seandainya aku tidak memilih untuk mengikuti impianku menjadi bintang film. Seandainya aku langsung kembali setelah ke Jakarta. Seandainya dan seandainya. Di batu nisan itu aku menangis tersedu-sedu. Bambang, orang paling kukagumi dan kucintai ternyata telah tiada. Aku masih berhutang jawaban padanya.
            Entah berapa lama aku menangis di batu nisan ini. Seingatku aku tidak ingin pergi dari sini.

*untuk seseorang yang masih setia menunggu kekasihnya. Semoga kau bertemu dengannya di surga.

Comments

Popular Posts