GEGER BUTO : DRAMA DIBALIK DRAMA



Pengalaman yang ber-‘harga’. Mungkin kata itu yang paling pantas untuk memulai tulisan ini. Geger Buto adalah sebuah judul pertunjukan drama dan tari yang dibuat oleh kelompokku, kelompok 3 kelas D untuk ditampilkan di acara pentas sendra tari seluruh mahasiswa PGSD UNY angkatan 2012 sebagai bentuk Ujian Akhir Semester mata kuliah Seni Tari dengan dosen eksentrik Pak Joko Pamungkas.

Mata kuliah seni tari ini mungkin bisa dikatakan sebagai klimaks dari seluruh perkuliahan yang telah dilalui mahasiswa PGSD UNY. Walaupun cuma berbobot 2 SKS tapi dalam pelaksanaannya  mata kuliah ini menghabiskan waktu 20 SKS lebih. Ya, serius! Bisa dikatakan seni tari ini merupakan mata kuliah dengan jumlah SKS paling banyak yang pernah kulalui, bahkan melebihi mata kuliah favoritku setiap semesternya, yaitu tenis meja, yang biasanya berbobot 10 SKS.

Setelah pembagian kelompok tampil, setiap hari hampir semua kelompok selalu berlatih untuk mempersiapkan penampilannya mulai dari nol, untuk kelompokku bisa dibilang minus. Bukan antusias, hanya saja kami adalah mahasiswa PGSD yang tidak punya background seni ini  tiba-tiba dipaksa untuk menari di hadapan umum. Sebuah hal yang memalukan sebenarnya. Tapi alangkah beruntungnya kami karena ketika kami tampil tidak ada penonton yang melempari kami, baik melempar sandal jepit, batu, sandal jepit terbuat dari batu ataupun sejenisnya.  Justru, setiap kami tampil, terutama kelompokku yang tampil, semua penonton yang datang selalu menyemangati kami dengan bersorak “Huuu! Membosankan! Ganti! Ganti! Ganti!” *heuheu

Sekarang membicarakan kelompokku, kelompok 3 kelas D. Sepertinya dalam setiap pembagian kelompok, aku selalu kurang beruntung. Dalam kelompok seni tari ini ada 14 orang. 10 cewek dan 4 cowok. Kalau untuk yang cewek, semuanya tidak ada masalah. Justru ke 4 cowok inilah yang selalu menjadi masalah. Terutama seorang oknum yang berinisial S-A-B-A-R. Pemuda ini selalu membuat masalah baik secara sadar maupun tidak.

Hal pertama yang dilakukan adalah membahas tema apa yang akan dipentaskan. Sempat bingung untuk beberapa saat, tapi kemudian salah seorang temanku, Eko mempunyai ide untuk membuat drama dengan tema terkait pertanian dengan lakon utama Dewi Sri. Semuanya setuju.

Sayangnya, ketika judul itu dikonsultasikan kepada Bos Besar Candi Prambanan, pak Dosen menyarankan untuk mengubahnya karena cerita yang dibuat sudah sering dipentaskan dan terlalu pasaran. Ada dua pilihan, mencari tema baru atau hanya merombak cerita. Karena waktu yang mepet dan ide yang seret kami memutuskan untuk mengubah alur cerita dengan tetap menggunakan tema yang sama.

Sebenarnya, aku hanya ingin menjadi pengekor saja di kelompok, jika tidak mau disebut penonton. Jujur saat itu, aku sedang dalam periode terburukku sebagai mahasiswa, setiap aku berangkat ke kampus untuk kuliah aku selalu teringat ayahku yang meninggal beberapa bulan sebelumnya dan membuatku sedih. Jadinya aku jarang bicara dengan siapapun ketika di kampus. Akan tetapi karena gemes teman-teman sekelompok idenya tidak juga muncul, akhirnya aku yang membuat jalan cerita. Menghilangkan peran dewi Sri dan menggantinya dengan Dukun absurd, Ki Joko Saklawase dan muridnya, Jambrong.

Setelah kerangka cerita dibuat, mulailah kami menentukan peran dalam cerita. Sang Buto (raksasa buruk rupa dan jahat) diperankan oleh Sabar, disesuaikan dengan karakternya. Aku menjadi dukun. Dan lainnya menjadi petani. Menyaksikan Sabar menari Buto sungguh kelucuan yang luar biasa dantidak dibuat-buat. Mungkin, Buto yang sesungguhnya pun akan tertawa dibuatnya.

Awalnya ketika dikonsultasikan dengan Dosen, tentang adegan awal kami tidak ada masalah. Namun seiring berjalannya waktu, di minggu selanjutnya kami dikritik habis-habisan oleh Pak Joko karena ketika kami memeragakan adegan 1-4 kami kurang serius. Sampai-sampai Pak Joko Walk Out karena merasa emosi.

Setelah Pak Joko pergi, kami pun mengevaluasi masalah kami dan membuat solusinya. Ternyata masalah yang perlu diselesaikan adalah keseriusan seluruh anggota dan membuat denda jika ada yang terlambat latihan, meskipun bisa dimaklumi, terlambat adalah hal yang Indonesiawi.

Lebih penting lagi, kami melakukan perombakan frontal dan radikal dalam segi alur cerita dan peran. Sabar dan Dika menjadi duo Dukun. Nuni meskipun perempuan, menggantikan peran Sabar sebagai Buto, lebih tepatnya menjadi Butowati. Miris sekali nasibnya. Awalnya dia yang menjadi Dewi Sri namun seiring perubahan cerita, kemudian dia berubah menjadi petani dan terakhir menjadi Buto. Selain itu sempat juga, kelompok kami memikirkan untuk mencari pelatih karena frustasi dengan tarian kami. Akan tetapi hal itu tidak jadi karena kami percaya dengan kemampuan diri kami dan tidak percaya dengan kemampuan keuangan kami.

Setelah itu, kami mulai belajar untuk datang tepat waktu setiap latihan meskipun ada juga yang tetap terlambat. Hari demi hari kami lalui dengan berlatih dan berlatih. Ketika latihan, semua hal terkait pentas dipikirkan oleh anggota cewek mulai dari gerakan, dialog, dan lainnya. Yang cowok hanya menunggu dan bermain HP, kecuali Dika, yang ikut membantu membuat Backsound untuk latar belakang gerakan tari. Betapa kuatnya anggota cewek menghadapi tim cowok. Mereka harus mendapat apresiasi yang tinggi.

Mendekati Hari-H, Alhamdulillah gerakan dan adegan dari awal sampai akhir sudah selesai. Kami tinggal menyempurnakannya. Selain itu kami juga mulai mencari kostum dan membuat properti. Saat itu semuanya berjalan lancar. Kami tidak kesulitan dalam hal itu. Pagi hari sebelum tampil di malamnya, kami membuat perubahan judul drama. Sebenarnya aku yang menyarankannya, bagiku judul Buto Ngamuk itu kurang pas dengan jalan cerita. Jadilah nama Geger Buto sebagai judul cerita. Oh ya hampir lupa, kami mendapat jatah tampil nomor 11, terakhir kedua. Sial. Kalian tahu siapa yang mengambil nomor itu. Tentu saja Sabar.

Ba’da Isya, acara pentas pun dimulai. Lokasinya di pendopo Asrama Kampus. Penontonnya luar biasa banyak. Sayangnya, aku tidak menyaksikan kelompok tari yang sedang tampil karena kelompokku sejak jam 7 sudah stay di ruang sidang kampus untuk make-up. Setelah selesai, kami pun berangkat ke TKP untuk bersiap tampil. Karena sudah gladi bersih siangnya, kami pun sudah tidak grogi ketika mau tampil. Kami hanya mempermasalahkan lighting dan clip-on yang tidak bunyi. Menurutku, ketika tampil itu kelompokku sudah menampilkan penampilan yang semaksimal mungkin. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar.

Setelah selesai acara, kami kembali ke ruang Sidang kampus untuk membereskan tempat untuk kemudian pulang. Pentas sudah selesai dengan predikat sukses, menurutku. Namun mata kuliah seni tari ini belum selesai. Kami masih punya tanggungan untuk membuat dokumentasi pentas kami berbentuk buku dan video dalam waktu satu minggu saja.

Mungkin, sekedar mungkin, nama Geger Buto yang kuusulkan sebelumnya malah menjadi jinx bagi kelompok kami. Masalahnya setelah pentas kami justru sering geger. Geger dalam artian yang sesungguhnya.

Mulai dari geger hilangnya gelang atribut kostum buto yang kami sewa sehingga kami harus menggantinya. Kemudian setelah selesai masalah itu, muncul kegegeran baru, yaitu geger Remot AC Ruang Sidang. Cerita hilangnya Remot AC ini sangat konyol dan tidak masuk akal, dan tentu saja pelaku utamanya adalah Sabar. Namun apa daya, kami harus bertanggungjawab untuk menggantinya.

Setelah itu, masalah belum juga selesai. Muncul Geger yang baru, yaitu Geger Batu Akik. Batu Akik yang dikenakan Sang Dukun, (Sabar lagi) ternyata jatuh ketika tampil. Meskipun sudah berkali-kali mencarinya kami tidak berhasil menemukannya. Padahal Batu Akik yang kami hilangkan itu adalah Batu Akik yang harganya mahal. Kemudian, geger yang terkhir adalah Geger Buku. Kami adalah kelompok yang paling akhir mengumpulkannya. Semoga geger Buku itu adalah geger terakhir yang mengegerkan kelompokku dan semoga masalah geger batu akik itu segera selesai karena sampai sekarang aku menulis ini gegernya belum selesai.

Mungkin itu saja yang bisa kuceritakan tentang drama dibalik drama Geger Buto. What a crazy experience!!!

Catatan Kecil :

Ketika aku menulis kata ‘kami’ sebenarnya maksud dari kata itu adalah ‘mereka’, semua anggota kelompok kecuali aku. Aku disana hanya sebagai penonton saja. Dan karena itu, maka aku harus meminta maaf kepada kelompokku. Jadi ….

Untuk teman sekelompokku :
Tentu saja kata yang harus kuucapkan pertama kali adalah maaf, terutama untuk anggota kelompok yang perempuan.  
Maaf telah menjadi batu. Maaf tidak pernah mau membantu. Maaf tidak terlalu berguna. Maaf kadang tidak mau mendengarkan. Maaf untuk apa saja yang membuat hati kalian panas dalam. Kalian mungkin sedikit tahu alasanku dan jika demikian begitu, terima kasih telah mau mengerti.
Hampir setiap hari dalam satu semester bertemu kalian dan menjalankan misi sendra tari nya pak Jekek sangat menyebalkan, kalau boleh jujur. Ketika latihan, peranku hanya sebagai penonton saja, tapi entah kenapa aku sangat menikmatinya.
Menikmati bagaimana proses pembuatan naskah cerita, menentukan peran apa yang cocok untuk semua anggota, menemukan gerakan tari yang tepat, mencari musik latar yang sinkron dan semua hal kecil lainnya.
Kalian luar biasa, terutama saat kita tampil.
Mungkin ada sedikit-mendekati-banyak batu kerikil dalam perjalanan Sendra tari kita, tapi aku yakin pada dasarnya malam itu adalah penampilan terhebat kita.
Untuk Sabar, aku juga meminta maaf karena sudah menjelek-jelekanmu dalam tulisanku ini. Semoga kau tidak sakit hati dan justru malah bangga karena sudah membuat kelompok kita terlihat hidup dan ramai.
Sekali lagi maaf,,, dan terima kasih.

The Geger Buto :
Sabar-Eko-Kuskus-Aleks-Dika
Dian-Elia-Puji-Irma-Rista
Resti-Eka-Risa-Dwi




  






Comments

  1. Semoga makin kompak dan semangat. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. udah bubar kok,, jadi pasti tambah kompak n semangat :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts