Sekedar selingan
Pertama.
What
is wrong with people?
Pertanyaan
ini mondar-mandir di kepalaku selama hampir setengah tahun ini. Tentu lakon
utama yang membuatku terheran-heran setengah hidup adalah Sang Imam Besar dan
musuhnya, yang awal tahun lalu menjadi bebuyutannya. Lucunya kedua tokoh ini
sekarang dalam kondisi dikrimanilkan atau apalah bahasa halusnya. Sejak suhu
politik Indonesia atau Jakarta khususnya memanas, aku rasa kondisi kepala
manusia-manusia Indonesia semakin keruh. Jauh dari kata jernih. Guyon sepele
dipermasalahkan secara masif. Tawa gelap untuk meledak kehidupan secara
sarkastis kini menjadi tabu. Semakin hari kejadian-kejadian abnormal menjadi
hal yang wajar. Permisif sekali bangsaku ini. Akan tetapi dalam waktu yang
bersamaan, intoleran sekali.
Kedua.
What
happens with my life?
Aku
baik-baik saja. Hanya saja, aku selalu mengkambinghitamkan manusia-manusia lain
sekitar dan menyalahkan mereka terhadap berbagai kemungkaran yang terjadi di
dunia ini. Sementara aku pribadi yang sedang kacau ini tidak tertangkap kamera
barang sedikitpun. Padahal aku sedang menjalani kehidupanku. Aku tidak menjalani
kehidupan orang lain. Kenapa aku memikirkan mereka?
Ketiga.
I’m
okay but I’m not doing well.
Ketika
aku bilang aku baik-baik saja tadi, sebenarnya aku berbohong. Memang aku sudah
bekerja. Sudah, paling tidak, punya penghasilan sendiri. Itu kan yang dituntut
lingkungan. Tidak meyusahkan keluarga atau orang lain ketika sudah tiba waktunya
untuk mandiri. Namun sudahkah aku bahagia? Halah, bahagia itu apa anak muda? Aku
tidak baik-baik saja karena aku masih di sini. Bersembunyi dalam tempurung. Bukan
tidak mensyukuri. Tapi katak ini ingin sesekali memiliki kemampuan mengepakkan
sayap laiknya burung-burung yang kicaunya mampu mengusir segala kacau. Tapi apakah
bisa?
Keempat.
Waktu
jeda sudah semakin habis. Sudah setahun ini aku istirahat. Entah istirahat dari
apa. Yang pasti aku sedang bersantai. Obesitas adalah kenyataan menakutkan yang
nyata-nyata semakin benderang di pelupuk badan. Ini konotasi dan denotasi. Aku terlalu
nyaman menjalani kehidupan ini. Hiruk pikuk dalam kepala menuntut tempatnya
lagi. Sudah seharusnya aku bertanggung jawab untuk hal yang memang semesta
bebankan kepadaku. Terasa berat kan bahasaku? Memang sengaja. Sebab aku juga
tak tahu maknanya. Atau, sebenarnya aku juga tidak tahu apakah semua yang
kutulis ini memiliki makna. Nir.
Kelima.
Semoga
aku versi masa depan ketika menyempatkan diri membaca tulisan ini akan tertawa.
Bukan bersedih lantaran keadaan masih sama. Oh Tuhan, aku kebelet pipis. Sekian
dan mari ke toilet masing-masing dengan hati yang riang dan gamang. Haha,,
Comments
Post a Comment