REQUIEM DALAM SECANGKIR TEH
Dini hari yang sudah cukup bagi sepi
untuk menyusup ke setiap lapisan udara dan akhirnya kota ini telah mati juga. Ketika
semua orang asyik hidup di alam bawah sadarnya ternyata masih ada satu pria
yang belum sanggup menikmati alam selain bumi itu. Pria itu tidak bisa tidur dan memang sedang
menolak keinginan untuk tidur. Dia memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan
menghidupkan salah satu sahabat sejatinya. Dia pergi ke dapur lalu mengambil
cangkir kemudian dicelupkannya gula pasir dan teh disertai air panas ke dalam
cangkir bertuliskan “I Just don’t care”-nya. Diseduhnya komposisi sederhana itu
lalu dibauinya sebentar dan dicicipinya barang sedikit. “Sudah pas,” batinnya.
Akhirnya dia tidak kesepian lagi. Dengan mesranya dia membawa secangkir teh
karibnya itu keluar rumah. Duduk di teras depan ditemani bulan yang masih
malu-malu bersembunyi di belakang awan kelabu dan dikelilingi bilangan bintang
sebagai abdi abadinya.
Dia diam sebentar. Termenung. Terlalu
sibuk berdiskusi dengan pikirannya. Dipandanginya secangkir teh itu. Pikirannya
tiba-tiba melayang ke roda waktu masa lampau. Awal perkenalannya dengan teh.
Suatu pagi yang sejuk, bocah yang baru saja resmi menjadi murid kelas tiga SD itu terbangunkan dari tidur lelapnya. Mimpinya terdistruksi suara berisik dari arah dapur di sebelah kamarnya. Ibunya sedang khusyuk duduk di depan tungku menjaga agar api tetap menyala dan ayahnya sedang berjalan masuk membawa sekantong plastik berisi sesuatu. Dihantui rasa penasaran dengan isi dari kantong plastik yang dibawa pahlawannya serta ditambah hari ini juga adalah hari Senin, hari favoritnya dalam satu Minggu, akhirnya dia bergegas menghampiri ayahnya. Dia melihat ayahnya menaruh kantong plastik yang ternyata berisi bakwan dan tempe goreng di atas meja makan lalu mengambil piring. Yang dipikir bocah itu piringnya akan digunakan untuk menaruh gorengan itu, tetapi keliru. Ayahnya mearuh piring itu lalu menuangkan sedikit teh panas yang baru saja dibuat oleh ibundanya. Kemudian ayahnya mengambil satu bakwan lalu memakannya secara perlahan. Bocah itu tertarik dan mengikuti tingkah laku ayahnya. Setelah itu ayahnya mengambil piring yang sudah berisi teh panas dan menyeruputnya dengan sangat nikmat. Bocah itu sangsi dengan perbuatan ayahnya. “Tidak pahitkah teh yang diminum ayah?” batinnya. Tapi karena ada dorongan rasa dahaga dan penasaran akhirnya dia juga meniru menyeruput sepiring teh panas itu. Bocah itu terkejut bukan kepalang. Meskipun pahit tapi setelah beberapa detik muncul rasa nikmat yang sangat hebat. Ternyata penghakimannya terhadap teh pahit yang dijulukinya sebagai minuman tidak enak itu harus direvisi lagi. Teh pahit itu ternyata sangat nikmat, melegakan adalah kata yang tepat untuk menggambarkannya. Sejak hari itu, ngeteh sambil makan gorengan di pagi hari adalah kegiatan favorit bocah itu dan ayahnya. Tradisi yang suatu saat akan dia turunkan kepada anak cucunya. Setelah kejadian itu, tidak hanya pagi hari saja, bahkan setiap hari minuman utama bocah itu adalah teh, baik pahit maupun manis, baik dingin maupun panas. Dalam kondisi apapun.
Setelah panas teh mereda, pria
itu menyeruput teh buatannya sendiri itu. Satu tegukan yang entah kenapa bisa
membuat matanya berkaca-kaca. Apakah teh buatanmu tidak enak, hai pria kesepian?
Kemudian pikirannya terlempar lagi ke masa lalu. Momen dimana dia mengerti makna
teh bagi dirinya.
Bocah yang tiap harinya minum teh itu sekarang sudah remaja. Pelan tapi pasti dia mulai memahami posisi teh di kehidupannya. Pernah dia bertanya kepada ayahnya tentang makna dibalik teh pahit itu tetapi ayahnya tidak menggubrisnya. Begitulah selalu cara ayahnya untuk membebaskan anaknya untuk berpikir. Dia baru bisa memahmi makna teh dengan merefleksikan teh itu kepada ayahnya. Teh itu dan ayahnya ternyata tidak ada bedanya. Teh itu rasanya sederhana, tidak seneko-neko dan sekharismatis karakter kopi. Hal itu sama persis dengan perilaku ayahnya setiap hari. Ada sistematika yang jelas dalam waktu 24 jam dalam sehari ayahnya dan hal itu terus berputar membentuk siklus. Sangat sederhana dan tidak pernah berubah-ubah. Kegiatan paginya sangat khas. Mulai dari bangun, sholat, menjaga tungku sebentar, membeli gorengan, minum teh, menyirami tanaman, merawat sepeda jengkinya, mandi, menyemir sepatu, ganti baju, menyisir rambut, sarapan, memakai sepatu lalu dengan sepedanya dia berangkat ke sekolah untuk memberi ilmu kepada murid-muridnya. Selain itu teh dan ayahnya juga mempunyai sifat lain yang sama, yaitu ramah dan hangat. Percaya atau tidak, setiap kali menyentuh ayahnya akan muncul getaran-getaran hangat yang menenangkan bagi bocah itu. Sama halnya ketika bocah itu meminum secangkir teh. Bahkan pernah bocah itu ketika sedang sakit dan harus dirawat di luar kota, dia hanya mau digendong ayahnya ketika dalam perjalanan. Jadi selama kurang lebih satu jam ayahnya harus menggendong bocah itu di mobil yang pengap dan sangat panas. Ayahnya tidak keberatan sama sekali asal anaknya tenang dan penyakitnya dapat segera disembuhkan.
Terdengar suara kucing dari semak
di samping rumah pria itu, yang membuat lamunannya sekejap kabur. Kembali ke
realita dan tentu saja secangkir teh yang mulai beranjak hangat. Dia menyeruput
teh itu secara perlahan. Mencoba menikmati teh itu dan tiba-tiba saja air
matanya keluar setetes demi setetas. Dia memejamkan matanya. Memaksa matanya agar
air asin itu tidak keluar. Ketika dia memejamkan matanya, pikirannya tersesat
lagi di kejadian beberapa waktu lalu, sumber penyebab air matanya mengalir.
Akhir-akhir ini, si bocah yang sekarang sudah berkepala dua itu sedang sangat sibuk. Banyak kegiatan di kampus yang menyiksanya dan membuat dia jarang pulang ke rumah. Padahal sebagai anak rantau yang kuliah di kota tetangga setiap seminggu sekali dia rajin pulang. Dia tidak peduli dengan cemoohan temannya tentang tingkahnya yang menurut mereka sangat manja. Bocah itu mengacuhkan ejekan temannya. Mereka tidak pernah tahu betapa bahagianya mempunyai ayah seperti ayahnya. Hari kamis adalah hari favoritnya karena Jumat dia pasti akan pulang ke rumahnya dan bertemu ayahnya. Orang yang paling memahami dirinya dan tempat berlindung paling aman ketika dia sedang dimusuhi dunia. Alasan dan tujuan hidupnya.Beberapa tahun belakangan ayahnya sering sakit-sakitan. Mengonsumsi berbagai macam butir pil adalah aktifitas rutinnya yang pada akhirnya membuat aktifitas favorit bocah itu dan ayahnya mengeteh bareng menjadi jarang. Kata dokter yang terdengar seperti sabda raja, ayahnya harus banyak mengonsumsi air putih.Suatu hari, ketika si bocah pulang ke rumah dan bertemu dengannya. Ayahnya membisiki bocah itu. “Nak, sini tak kasih tau!”. Ada rasa penasaran bercampur keraguan dari si bocah karena menurutnya ayahnya akan bercerita tentang masa lalunya. Cerita yang tidak pernah tidak dia ceritakan kepadanya. Si bocah hanya mendekatkan dirinya ke samping ayahnya.“Kemarin pagi, saat menyapu halaman bapak tiba-tiba terjatuh. Ingatan bapak rasanya seakan hilang dan bapak juga tidak merasakan apa-apa lagi. Bapak seperti hampir pingsan. Atau mungkin lebih parah lagi.” Cerita ayahnya dengan serius.“Terus?” tanya bocah itu bingung reaksi apa yang akan dia perlihatkan setelah mendengar kelanjutan cerita ayahnya.“Bapak benar-benar tidak ingat apa-apa waktu itu. Tapi kemudian bapak ingat kamu. Bapak ingat kakak-kakakmu. Bapak masih belum selesai merawatmu, nak!”Bocah itu hanya diam saja.“Tapi alhamdulillah, setelah itu akhirnya bapak bisa bangun lagi.”kata ayahnya dengan rasa lega.Bocah itu masih terdiam. Untungnya, keheningan itu berhasil dipecahkan oleh muadzin yang mengajak untuk shalat maghrib. Si bapak kemudian bersiap untuk mengambil air wudhu. Si bocah masih di tempat itu. Setelah ayahnya keluar ruangan, air matanya mengalir deras. Sejak saat itu dia selalu berdoa kepada Tuhan agar ayahnya diberikan kesehatan setidaknya sampai dia berhasil membuat ayahnya bangga dengan prestasinya. Setidaknya hanya itulah yang bisa dia berikan untuk membalas semua cinta tanpa batas yang selalu ditunjukkan ayahnya.
Akhirnya, pertahanannya rubuh.
Dia tidak bisa mengendalikan air matanya. Air matanya jatuh berderai. Ada rasa
sesak dan dingin di hatinya ketika mengingat peristwa itu. Bocah itu mengobati
lukanya dengan menyeruput teh itu lagi. Tidak sekali tapi beberapa kali. Dia
pasrah, membiarkan rasa sedihnya menguasai dirinya.
Sampai pada waktu itu, beberapa hari yang lalu. Ayahnya meninggal dunia. Setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakitnya, jagoan itu akhirnya tumbang. Kalah dengan kekuasaan Tuhan. Bocah itu sangat syok dan terkejut, orang paling kuat yang pernah dikenalnya itu telah kalah. Kesedihan pun mulai tumbuh di hatinya, bagai rumput liar yang tumbuh ketika musim hujan. Bocah itu tidak pernah siap dengan waktu itu. Dia tidak pernah percaya ayahnya akan meninggalkannya secepat itu. Ada janji tidak tertulis antara dia dan ayahnya yang belum terwujud.
Pria itu masih dikuasai
kesedihan. Sulit baignya untuk tersenyum malam ini. Tujuannya tidak tidur di malam
ini akhirnya tercapai. Setidaknya malam ini dia sudah bisa ngeteh bareng
ayahnya lagi. Meskipun saat ini ayahnya hanya menjelma sebagai sepotong-potong
kenangan di dalam otaknya. Baik kenangan indah maupun pahit. Masih dengan air
matanya yang belum berhenti menetes dia menyeruput teh itu lagi. Dia harus
bertahan setidaknya sampai teh itu habis.
(seperti sajak Sapardi tentang
gergaji yang tidak pernah berjanji kepada angin untuk mengembalikan pohon
kepada burung,
Tuhanpun juga tidak pernah berjanji kepada waktu untuk mengembalikan ayah kepada si bocah.
untuk ayah)
Tuhanpun juga tidak pernah berjanji kepada waktu untuk mengembalikan ayah kepada si bocah.
untuk ayah)
ceritanya sedih juga mas :')
ReplyDeleteapa ada kelanjutan lagi dengan cerita ini ?