SAMPAI JUMPA GALBRAITH...

“He had never been able to understand the assumption of intimacy fans felt with those they had never met.”
Robert Galbraith, The Cuckoo's Calling

Pagi hari yang sangat indah. Luar biasa jika boleh berhiperbola. Mungkin bagi kalian jika mendengarkan alasan ku bahagia pagi ini akan terdengar remeh dan sepele. Tapi tidak mengapa, aku tidak peduli. Tahukah kalian apa yang membuatku bahagia? Pagi ini akhirnya aku berhasil merampungkan novel karangan Robert Galbratih a.k.a J.K Rowling si jenius penulis kisah fantasi legendaries, Harry Potter!!!
Novel yang kukatamkan pagi ini adalah novel serial bertema criminal, berlakon utama Cormoran Strike, detektif partikelir swasta dibantu sekertarisnya, Robin Ellacott dengan judul The Cuckoo’s Calling (dekut burung kukuk). The Cuckoo’s Calling sendiri adalah novel bagian pertama, karena beberapa tahun berselang muncul bagian keduanya yang masih berlakon Cormoran Strike sebagai pemeran utama dengan cerita pembunuhan yang berbeda, yang berjudul The Silkworm (Ulat Sutra).
Agak kurang ajar juga cara ku membaca novelnya Mbak Galbraith ini. Akibat kesalahan teknis, aku justru membaca Silkworm dulu baru kemudian membaca The Cuckoo’s. Silkworm sudah kutamatkan beberapa bulan yang lalu dan juga meninggalkan kesan yang tidak jauh berbeda seperti pagi hari ini aku mengakhiri The Cuckoo’s Calling. Ada rasa kenyang setelah membaca kedua novel itu. Rasa lapar yang terobati oleh bacaan-bacaan yang membuat adrenalinku bergejolak dan rasa penasaran akan kelanjutan cerita. Tapi beberapa menit kemudian menumbuhkan rasa lapar lagi. Karena aku ingin membaca lagi. Dan lagi.
Kalau boleh memilih, berdasarkan pengalaman ku setelah membaca kedua novel ini, aku mungkin akan menunjuk The Silkworm mempunyai kualitas yang sedikit lebih unggul dibandingkan The Cuckoo’s Calling. Hal ini bukan didasarkan riset-riset mendalam akan detail kedua novel itu, melainkan perasaan ku saja. jadi jangan protes apabila kalian tidak setuju pendapatku. Ada berbagai alasan yang absurd kenapa aku lebih memilih The Silkworm lebih unggul daripada The Cuckoo’s Calling. Alasan pertama, sudah ku tulis sebelumnya, aku membaca The Silkworm dulu daripada Cuckoo’s. Kedua, di Silkworm permasalahan cerita lebih jelas sedangkan Cuckoo’s pada awal cerita masih bersifat perkenalan akan tokoh-tokoh dalam novel itu sehingga pembaca pun masih meraba-raba cerita. Ketiga, dari segi alur, keduanya bagiku mempunyai kekhasannya masing-masing. Silkworm lebih menarik karena ceritanya sangat menggoda bagiku pribadi karena menceritakan penulis yang dibunuh secara biadab dan sebelum dia mati dia telah menuliskan novel yang menghina orang-orang di sekitarnya. Pokoknya yahud dehh. Adrenalinku sepanjang cerita berhasil dipermainkan oleh kumpulan kalimat demi kalimat yang dirangkai indah, jujur dan sederhana namun sangat elegan oleh Galbraith. Aku masih ingat, waktu itu aku menyelesaikan 2/3 cerita novel hanya dalam tempo semalam. Masih jelas dalam ingatanku, aku merampungkan novel itu di pagi hari sekitar pukul 02.00 dan seperti sudah kuperkirakan sebelumnya, aku pasti akan bangun terlambat dengan dihantui mimpi tentang kisah novel itu. Percaya atau tidak, aku mempunyai kecenderungan untuk selalu memimpikan sesuatu yang  memacu adrenalinku setelah kejadian itu. Sama seperti ketika aku menonton serial Walking Dead, beberapa malam selanjutnya aku selalu bermimpi di kejar zombie.
Nah, kalo Cuckoo’s menurutku awal cerita dibangun dengan tempo yang lambat meski tetap mempesona. Beda dari Silkworm yang kuselesaikan sangat cepat, aku membutuhkan perjuangan yang ekstra untuk menyelesaikan Cuckoo’s. Mungkin karena alasan-alasan yang kusebutkan sebelumnya dan juga sebelum aku membaca Cuckoo’s aku sudah di beri spoiler tentang siapa pembunuh supermodel yang sebelumnya ditetapkan sebagai tindakan bunuh diri oleh polisi ini yang membuatku kurang berminat dengan novel ini.
Tapi kemudian di setengah akhir novel ini aku baru menemukan keasyikan cerita. Setelah beberapa pekerjaanku di kampus selesai, aku bisa lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan Cuckoo’s ini. Cara Galbraith untuk menceritakan sosok Strike dan cara Strike menggali informasi dan petunjuk kasus pembunuhan sangat menawan. Aku rasa detail-detail yang disampaikan oleh Galbraith dalam cerita sangat pas, tidak kurang dan tidak berlebih. Kesimpulannya, semua bab dalam novel ini sangat efektif dan efisien. Tidak mendayu-dayu tapi tetap memegang teguh asas kejelasan suatu peristiwa. Sebenarnya kemarin aku berniat untuk merampungkan novel ini, tapi aku mengurungkan niatku ketika cerita sudah mendekati akhir dan Strike akan mengungkap siapa pembunuh sang Supermodel, Lula Landry. Mungkin karena aku sudah tahu siapa pelakunya. Tapi ada rasa iseng dibenakku untuk tidak melanjutkan ceritanya karena aku berniat melanjutkan ceritanya ketika sedang bermimpi. Jadi maksudnya aku mencoba mengungkap siapa pelakunya lewat sudut pandang dan pengalamanku ketika bermimpi. Dan hasilnya sangat beda jauh. Mimpiku jauh lebih complicated dalam mengungkap pelakunya, karena diganggu pengalaman pribadi tapi tetap tidak kalah seru dengan cara Strike mengungkap pelakunya. Akhirnya, baru setelah bangun tidur dengan ditemani secangkir teh aku berhasil menyelesaikan novel Cuckoo’s ini. Dan ada rasa berbunga-bunga dan bahagia yang tak terkira setelah merampungkan novel ini. Aku sangat terpesona kecerdasan Strike dalam mengumpulkan informasi dan petunjuk-petunjuk dan membuat konklusi ketika mengungkap dalang pembunuhan. Soooo coooollll…..
Overall, kedua novel ini sangat menarik. Mempunyai kekuatannya masing-masing. Tak lupa Galbraith juga menghiasi cerita kriminalnya dengan bumbu-bumbu romantis antara Cormoran Strike dengan sekretaisnya, Robin Elacott yang akan bertunangan dengan pacarnya, Mathew. Sangat lembut dan syahdu meskipun agak datar juga bumbu-bumbu romantisme dalam kisah criminal ini. But its okay, its still amazing though.
Tambahan sedikit berdasarkan pendapat pribadiKU, entah kenapa setiap aku membaca bab demi bab novel ini, aku menggambarkan sosok Strike adalah Bennedict Cumberbatch di dunia nyata. Itu lho, si British yang main di serial Sherlock dan film The Immitation Game. Dan ketika menggambarkan Robin, aku membayangkan sosok Gracia Van Pelt, salah satu tokoh dalam serial The Mentalist.
Mungkin itu saja yang bisa aku ceritakan pada kalian perihal kebahagiaanku pagi ini. Ada petikan puisi di akhir cerita Cuckoo’s yang entah kenapa sangat menarik perhatianku. Inilah petikan kalimatnya…
Aku menjelma sebaris nama.
Aku tak mampu rehat dari petualangan:
aku mau mereguk tuntas hidup hingga tandas,
sampai ampas; seluruh waktu telah kunikmati
sehikmat-hikmatnya, telah melukaiku secuka-cukanya,
baik ketika bersama mereka yang kucintai,
atau saat aku sendiri menemani diri;
Di landai pantai, gugus bintang Hyades berjatuhan bagai hujan petir
menyalakan samar hampar lautan: aku menjelma sebaris nama…

Kepada Robert Galbraith saya mengucapkan bermiliar-miliar rasa terima kasih karena telah membuat saya kembali mengingat alasan-alasan saya dulu untuk gemar membaca semua hal dan kembali membangkitkan mimpi saya untuk bisa menulis sebuah novel suatu saat. Anda begitu bermakna dalam kehidupan saya. Terima kasih karena telah menulis berbagai kisah-kisah yang menginspirasi. Terkhusus, andalah inspirasi saya. Saya dengan setia akan menungggu karya-karya anda selanjutnya.
Sampai jumpa Galbraith….





Comments

  1. aduuuhh, jd pengen baca..
    kata2 di dlmnya aja sekece itu, apalagi ceritanya yak..
    tfs yak,

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts