GADIS PEMBUAT KOPI :PART 2
Untuk membaca part 1 klik link GADIS PEMBUAT KOPI : PART 1
Setelah beberapa menit berlalu dengan
hanya saling pandang tanpa bicara, akhirnya kesunyian terpecah. Tentu bukan
aku, gadis pembuat kopilah pelakunya. Dia, setelah sekian lama duduk di
hadapanku, bangkit dari kursinya. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya
setelah ini. Apa yang akan dia katakan setelah membaca surat-suratku? Tuhan,
tolong aku. Semoga semuanya berjalan lancar.
Dia berdiri, lalu melangkahkan
kakinya ke arah meja di samping kanannya. Tanpa menoleh padaku. Sial, dia
mengabaikanku, lawan bicaranya, atau dalam kasus tadi, lawan pandangannya. Apa
maksudnya ini? Dia justru kembali ke aktifitasnya. Dengan tanpa dosanya, dia membersihkan
meja kafe sebelah yang kotor. Sialan! Kukira setelah kami saling pandang dalam
waktu beberapa menit, yang bagiku terasa seperti berjam-jam itu, dia akan
melemparkan pertanyaan-pertanyaan tentang surat-surat itu.
Apakah surat-surat itu kurang
bermakna baginya? Jadi, apa sebenarnya yang bisa membuatnya mengerti kalau aku
ini mencintainya. Apakah aku harus bicara? Apakah ini momentum yang tepat untuk
benar-benar bicara dengannya? Muncul dorongan kuat dalam diriku untuk
mengeluarkan suara. Malangnya, dalam waktu yang bersamaan ada ada pemikiran
lain yang menyuruhku untuk mengunci mulut rapat-rapat.
Setengah menit berlalu dan aku
masih duduk di kursi ini, berperang batin dengan ketakutanku sementara dia
hanya berjarak dua setengah meter dari jangkauanku, berperang lahir dengan
cangkir kotor dan sampah berserakan di meja nomor 15.
Sudah kuputuskan. Aku akan
bangkit dari kursiku dan berbicara dengannya. Tapi sebelum itu, aku harus
berdoa. Doa apa yang patut kuucapkan saat ini. Ah, kenapa memilih doa saja aku
bingung. Sialan. Fokus Don! Fokus! Jangan sia-siakan kesempatan emasmu.
Diantara kau dan gadis pembuat kopi, hanya ada ketakutanmu ditengah-tengahnya!
Aku berdiri. Kuambil beberapa
langkah. Enam langkah normal dan sudah sampai tujuan. Aku dan gadis pembuat
kopi sudah saling berhadapan lagi. Seperti adegan tadi sewaktu aku ketinggalan
tas, kali ini lain meja. Kutarik napas perlahan dan hati-hati, berjaga agar dia
tidak mendengar helaannya. Jadi… bagaimana surat-suratku… menurutmu, kataku terbata-bata.
“Bagus,” jawabnya datar, tanpa
pikir panjang dan tetap dalam keadaan masih membersihkan mejanya.
Sungguh, ketika aku mendengar
jawabannya aku ingin sekali membenturkan kepalaku ke meja yang di bersihkannya.
Geregetan. Apakah syaraf kepekaannya sudah hilang? Atau memang dia kurang
pandai membaca tulisanku? Atau tulisanku yang terlalu jelek sehingga dia sulit
membaca? Berbagai pertanyaan seketika berkecamuk dalam pikiran. Aku hampir
putus asa. Fokus Don! Fokus!
“Maksudku, apakah kau paham
tentang isi surat-surat itu?” tanyaku kepadanya. “Apakah kau tahu kalau aku
mencintaimu, sejak dulu?” kuulangi pertanyaanku. Kali ini langsung ke pokok
permasalahannya. Aku tidak mau jawaban rancu dan ambigu keluar dari mulutnya,
lagi.
“Paham,” katanya, sambil menghentikan
aktifitasnya untuk menatapku, “dari surat-surat itu aku mengerti kalau kau
tergila-gila kepada gadis impianmu, gadis pembuat kopi.”
Aku ingin membalas perkataannya,
tapi urung kulakukan karena kulihat dia sedang menyiapkan kalimatnya lagi.
“Yang menjadi berita terbaruku
adalah ternyata aku lah gadis itu,” katanya serius dengan sorot mata bak elang kelaparan
memburu mangsanya, “kalau boleh kuberitahu, gadis itu bukanlah aku. Gadis itu
hanya imajinasimu. Namaku sama sekali tidak pernah tertulis disurat-surat itu. Sejak
tadi, atau bahkan lebih jauh lagi, sejak tiga tahun yang lalu kau pertama
kemaripun aku belum pernah mendengar kau menyebut namaku. Kuulangi, aku bukan
gadis itu. Kau salah orang.”
Dwarrrr!!! Akhirnya meledak juga.
Kalimatnya seperti bom waktu yang memang sudah kuperkirakan sejak dulu. Aku tidak
pernah berani memulai pembicaraan dengannya karena aku tahu hal ini akan
terjadi. Kalimatnya langsung menyerang jantungku. Mengarah tepat, lancar, tanpa
ada halangan. Aku terpaku dibuatnya. Butuh waktu yang lama untuk mengolah
ucapannya.
Sementara aku masih mematung, dia
melangkah melewatiku. Dia beralih ke meja selanjutnya, meja nomor 16. Benar
juga apa yang dikatakannya. Aku belum pernah sekalipun menyebut namanya. Bahkan
dalam pikiranku pun, namanya tak pernah kusebutkan. Sepengecut itukah aku? Atau
memang benar bahwa gadis pembuat kopi itu adalah gadis khayalanku saja?
Sungguh, ucapannya membuatku mulai berpikir macam-macam.
Memang benar aku pengecut. Tapi
salah besar kalau gadis pembuat kopi itu bukanlah dia, gadis yang sedang
kulihat punggungnya ini. Jadi … aku menghela napas lagi. Sekarang agak panjang.
Kukumpulkan segala keberanian dan kupanggil namanya,
“Hey, Kurnia Arsita Maharani,
lahir 1 Februari 1886 asli Jogjakarta sekarang tinggal di Jakarta, dengarkan
baik-baik,”
Dia menghentikan aktifitasnya,
namun masih membelakangiku.
“Aku tidak salah orang. Kaulah
orang itu. Aku perjelas lagi, Kurnia Arsita Maharani adalah gadis pembuat kopi
yang selalu ku khayalkan. Sejak dulu, sejak kita masih SMA, aku sudah
mencintaimu. Mungkin, perasaan itu sempat berhenti beberapa saat karena kita
tidak pernah bertemu setelahnya. Tapi ketika aku melihatmu lagi untuk pertama
kalinya di kafe ini, cinta itu muncul lagi. Cintaku kepadamu tidak pernah
hilang, hanya berhenti sesaat. Sekarang cintaku semakin dalam, meski pada
kenyatannya aku terlalu pengecut karena tidak pernah bicara denganmu. Tapi ku
mohon dengan sangat, putar badanmu dan lihat aku. Sekarang aku akan mengatakannya.
Dengan sungguh-sungguh. Aku mencintaimu.”
Keadaan berbalik. Aku berhasil
membuatnya terdiam. Namun tidak ada rasa bangga dalam benakku. Justru ketakutan
semakin menguasai pikiranku.
Dia masih terdiam.
Beberapa detik kemudian dia
membalikkan badannya lalu menatapku dan berkata, “Keluar! Sekarang juga. Kafe
ini sudah mau tutup.”
Wah kalo manggil orang harus nama panjang plus TTL bahkan kalo ada aibnya pun disebut yah hahahhaha Pisss
ReplyDeletebiar keren gan
Deletecuma beberapa orang yang seperti itu :D
Delete