BALADA BADUT RODEN III
Di bangku terminal.
“Sungguh Ironis. Seorang badut
yang selalu mengabdikan dirinya untuk menghibur semua orang, ketika dia
bersedih tidak ada orang yang menghiburnya,” kata Riana membuka percakapan yang
sempat terputus ketika bus sampai di terminal tadi.
“Sebenarnya kalau dilihat dari
sudut pandang yang berbeda, kisah saya terkesan lucu, Mbak.” kata Pak Rumi
menanggapi Riana dengan senyum kecutnya.
“Sangat lucu sampai-sampai
membuat Bapak membenci seluruh penduduk Roden,” ujar Riana sekarang dengan nada
sarkastis namun masih tetap terkesan hangat.
“Sebenarnya benci adalah kata
yang terlalu berat untuk menggambarkan perasaan saya kepada penduduk Roden,”
kata Pak Rumi sambil membenarkan jaketnya karena dia sudah mulai tak tahan
dengan udara malam, “mungkin sakit hati lebih cocok. Atau agar lebih romantis,
patah hati adalah kata yang paling sempurna untuk mendeskripsikan perasaan
saya.”
“Hmmm,” Riana menghela napas
mencoba beradaptasi dengan udara malam, “jika memang begitu, apakah tidak ada
kemungkinan untuk mencintai mereka lagi?”
“Jujur, saya tidak tahu. Saya
tidak pernah merasakan kebencian seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika istri
saya pergi dari rumah, saya tidak menyalahkannya. Justru saya membenci diri
saya karena tidak mampu membahagiakannya.” jawab Pak Rumi dengan polos.
“Jawaban Bapak semakin membuat
saya penasaran. Patah hati yang seperti apa yang sedang bapak rasakan?” tanya
Riana mencoba terus menggali perasaan Pak Rumi.
“Pernahkah Mbak Riana mencintai
seseorang dengan sungguh-sungguh, tapi kemudian kekasih Mbak itu pergi
meninggalkan Mbak? Mungkin seperti itu perasaan saya. Ketika menyadari hal itu,
tiba-tiba semua kenangan indah dengan warga Roden tiba-tiba enyah, entah
kemana. Tak membekas. Yang ada hanya sakit hati karena tidak dihargai.” jawab
Pak Rumi dengan amarah yang kental di setiap nada bicaranya.
“Jadi kesimpulannya, bapak tidak
akan kembali ke Roden?” Riana seperti memberikan pertanyaan final kepada Pak
Rumi.
“Selama saya masih hidup, tidak
akan pernah.” jawab Pak Rumi dengan nada datar namun terdengar tegas.
“Jangan pernah mengatakan tidak
pernah Pak,” ujar Riana memberikan pernyataan diplomatisnya, “tapi, semuanya
juga kembali ke Bapak sendiri, sih. Riana cuma memberi saran. Eh, Pak, maaf
saya mau ke toilet dulu. Boleh nitip tas saya, kan?”
“Oh silakan,” kata Pak Rumi
ramah.
***
Beberapa menit kemudian Riana
kembali lagi. “Silakan pak, kalau ingin ke toilet,” katanya pada Pak Rumi.
“Oh ya, tolong jaga koper dan tas
saya ya mbak,” kata pak Rumi sambil mengangkat tubuhnya dari bangku halte yang
semakin mengembun.
“Siap Bos,” kata Riana dengan
senyum khasnya yang membuat Pak Rumi mulai terbiasa.
Pak Rumi pun pergi ke toilet yang
jaraknya lumayan jauh. Cukuplah bagi dirinya untuk menggerak-gerakkan badannya
yang kaku untuk mengusir dingin yang menusuk sampai tulangnya.
Di toilet yang tidak terawat itu
akhirnya Pak Rumi bisa buang air kecil setelah sejak dari bus tadi dia
menahannya. Setelah berhasil mengeluarkan hasrat kecilnya, Pak Rumi berhenti
sejenak di wastafel di depan toilet yang keadaannya sangat tidak terawat untuk
mencuci mukanya yang mulai mengantuk.
Di depan cermin wastafel itu Pak
Rumi menyempatkan diri untuk mengaca. Melihat lebih dalam pada dirinya. Wajah
kusam nan keripuntnya nampak jelas terlihat, tidak seperti ketika dia memakai
riasan ketika menjadi Badut Roden. Pak Rumi menatap dalam-dalam matanya. Dari
sorot matanya itu sebenarnya masih ada keraguan yang besar terhadap
keputusannya. Entah kenapa suasana toilet yang bau dan kotor namun sunyi itu
berhasil membawa kedamaian sementara untuk Pak Rumi.
Setelah beberapa menit berlalu,
Pak Rumi berjalan kembali ke bangku halte tempat Riana menunggu Pak Rumi,
sebuah bangku panjang yang terbuat dari besi yang sudah mulai karatan.
Awalnya Pak Rumi berjalan dengan santai
namun semakin mendekati bangku terminal, Pak Rumi mempercepat langkah kakinya.
Sampai di bangku tempat semula mereka duduk, Riana sudah tidak ada. Hilang
beserta koper milik Pak Rumi. Tinggal tas kecil Pak Rumi di bangku terminal.
Pak Rumi melihat sekelilingnya
namun tidak ada tanda-tanda gadis muda membawa koper bawaan milik Pak Rumi. Bus
yang ditunggu-tunggu pun belum datang. Pak Rumi mulai khawatir. Apakah gadis
cantik dan ramah itu adalah pencuri, batin Pak Rumi. Sebenarnya Pak Rumi tidak
mau cepat-cepat menyimpulkan hal itu, namun beberapa menit berlalu, tidak ada
tanda-tanda Riana akan kembali. Pak Rumi pun pasrah.
Dia kembali dihajar dunia. Gadis
muda yang menemaninya dalam perjalanan, yang setia mendengar kisahnya ternyata
adalah seorang pencuri. Kini pak Rumi tidak mempunyai apa-apa lagi selain tas
yang sengaja di tinggal Riana.
Pak Rumi kemudian duduk di bangku
halte. Merenungi nasibnya. Bisa-bisanya dia ditipu seorang gadis muda.
Pikirannya belum mampu menerima kenyataan. Sejenak kemudian, Pak Rumi membuka
tasnya, melihat barang apa yang ditinggalkan Riana untuknya. Dengan tidak
sabarnya, dia mengeluarkan semua isi tasnya ke bangku di sebelahnya.
Barang yang mucul paling atas
adalah kostum badut yang biasa dia pakai untuk tampil. Pak Rumi menyeringai
ketika melihat kostum favoritnya. Dia penasaran bagaimana Riana mau repot-repot
untuk memindahkan kostum badutnya yang terletak di koper bagian paling bawah k
etas yang sedang dibukanya. Apakah Riana mencoba mengatakan bahwa Pak Rumi
harus tetap menjadi badut, batin Pak Rumi.
Kemudian Pak Rumi memindahkan
kostum badutnya dan dibawahnya ada kertas yang terlipat rapi, lilin dan korek
api. Penasaran dengan kertas itu, Pak Rumi membukanya dan di dalamnya ada uang
46 ribu. Kenapa hanya 46 ribu? Kenapa tidak sekalian 50 ribu saja? Padahal di
dompet yang dibawa kabur Riana disana ada uang kurang lebih dua juta. Pak Rumi
masih bingung dengan alasan Riana kenapa hanya meninggalkan uang empat puluh
enam ribu saja. Lalu dia melihat kertas itu lagi dan ternyata kertas itu berisi
surat untuknya. Pak Rumi pun membaca surat itu.
Saat membaca surat itu, Pak Rumi
sempat tersenyum dan juga meneteskan air mata. Setelah selesai, surat itu
kembali di lipat lagi kemudian di masukkan ke saku jaketnya. Kemudian Pak Rumi
menyalakan lilin yang ada di bangku sebelahnya dan memandanginya. Dengan lirih
Pak Rumi berkata, ‘Selamat Ulang Tahun, Badut!’ sambil menangis. Pak Rumi
memandangi lilinnya sampai membuat air matanya mengalir lagi. Kini semakin
deras. Pak Rumi masih menatap lilinya, seolah dari api kecil lilin bisa
menghangatkan seluruh badannya. Sampai habis Pak Rumi masih menatapnya. Kini
dengan tatapan hampa. Sorot mata seorang putus asa. Sorot mata tak berjiwa.
wah tulisan fiksi, dan akhirnya pak Rumi buat kolam renang dari air matanya yang mengalir hihihih
ReplyDeletengga gitu juga kalii Hahaha
DeleteFiksi yang bagus. setiap alurnya selalu bikin penasaran. agak mikir juga sih apa hubungan surat yg di tinggalkan si gadis muda itu dengan ulang tahun si badut.. tp idenya bagus banget..
ReplyDeletemampir ke blog aku ya, kebetulan sering nulis fiksi juga :)
ohh,, sebenarnya itu ada cerita sebelumnya di bagian 1 dan 2 hahaha
Deleteokee,, langsung berangkatt :D