DEJAVU : THE BEGINNING

Tulisan ini adalah lanjutan postingan sebelumnya yang diposkan beberapa masehi yang lalu. Sesuai judulnya, tulisan ini adalah tentang awal mula bertemunya keluarga Dejavu secara langsung. Biar lebih afdol dan obyektif sebaiknya diceritakan dari sudut pandang orang lain. Ya walaupun dominasi subjektifitas pribadi akan merajalela disetiap spasi tulisan ini.

Yogyakarta, Senin 3 September 2012.

Pagi yang cerah, sejernih semangat para pelaku kehidupan yang pada saat itu berstatus sebagai Mahasiswa Baru (Maba) di sebuah kampus satelit yang diterlantarkan kampus induknya. Ya, sudah mahasiswa, baru lagi. Betapa menyenangkannya momen itu. Momen yang terjadi satu kali seumur hidup bagi kebanyakan orang, namun bisa dua kali atau lebih untuk beberapa orang (cc: yang merasa saja).

Menjabat sebagai mahasiswa baru berarti sudah lepas dari dunia percinta-monyetan khas anak sekolah menengah dan tentu saja lolos dari peraturan dan administrasi sekolah yang cenderung kaku, otoriter dan konservatif. Namun sebagai mahasiswa juga sudah harus dihadapkan dengan kemandirian konstan dan tugas-tugas tanpa ampun. Ah, apalah itu nikmati saja!

Pukul 10.00 WIB, semua maba yang memilih kelas D sebagai mahligai rumah-kuliahnya sudah terkonsentrasi di sebuah ruangan paling ujung barat daya kampus, yakni ruang F.28-101. Semua penduduk kelas tampak excited featuring awkward. Bagaimana tidak, dalam ruangan itu terdapat 44 spesies yang belum saling kenal tiba-tiba harus bertemu dan kemudian tinggal seatap untuk 4 tahun ke depan (satu anggota misterius tidak masuk karena sedang membuat KTP di Majapahit). Memang sudah ada yang saling mengenal sewaktu ospek dan mulai membuat ruangan menjadi berisik, tetapi tetap saja percakapan itu masih terjadi dalam kelompok-kelompok kecil.

Beberapa menit berselang, dosen yang ditunggu-tunggu untuk menjadi pengajar pertama belum juga datang. Keadaan itu dimanfaatkan setiap mereka untuk saling berkenalan dengan teman kanan-kiri depan-belakang dan berbasa-basi bertanya-tinyi informasi singkat.

Oh iya, dari ke empat puluh empat penghuni ruangan itu, tiga puluh empatnya adalah perempuan. Jadi bisa disimpulkan, saat itu raungan paling kentara dalam ruangan berasal dari para perempuan. Dan, posisi duduknya pun juga emansipatif khas Indonesia, dimana posisi duduk pria ada di bagian belakang-kiri ruangan.

Kemudian, ketika sedang asyik-asyiknya memecah sunyi menjadi bunyi, dua orang pria tiba-tiba maju ke depan ruangan dan membuat bunyi menjadi sunyi lagi. Semua yang berbincang lalu terdiam membisu menyaksikan duo itu. Penasaran apa yang akan mereka demonstrasikan di depan. Si duo kemudian memperkenalkan diri, Riko dan Sabar nama mereka. Ternyata mereka maju ke depan untuk menjadi mediator perkenalan diri para warga dan moderator untuk pembentukan struktur organisasi kelas. Para audiens terkesima dengan jiwa kepemimpinan duo itu. Ternyata mereka tidak salah masuk kelas, batin mereka polos bin naif.

Setelah para audiens setuju dengan usulan mereka, satu per satu penduduk mulai memperkenalkan diri masing-masing. Mulai dari nama, panggilan dan tempat tinggal.  Para audiens khusyuk menyimak informasi-informasi dasar dari warga lain yang sedang memperkenalkan diri.

Kemudian, sampai pada giliran seorang bocah bangsat yang nama panjangnya dengan nama panggilannya tidak singkron. Nama panjangnya terdengar sangat agamis, namun dia menyebut dirinya Aleks. Sungguh konyol bin absurb. Namun, hebatnya penduduk lain percaya dan kemudian memanggilnya Aleks. Dalam diri pria itu ada rasa bangga dan kecewa. Bangga karena dia bisa membuat penduduk lain percaya bahwa dia harus dipanggil Aleks, namun beberapa tahun berselang kecewa karena seharusnya saat itu bukan Aleks yang dia ucapkan ketika mengenalkan dirinya. Seharusnya Voldemort yang dia ucapkan. Sehingga ketika ada orang yang membicarakan dirinya, harus menyebutnya ‘You-Know-Who’ atau ‘He-Who-Must-Not-Be-Named’.

Dari hasil perkenalan diri itu, ternyata pribumi Jawa menguasai kelas ini. Hanya ada dua orang yang berasal dari luar Jawa, satu dari alam Batak, satunya lagi dari alam Baka. Hahaha. Sebenarnya keduanya berasal dari Sumatra. Setelah sesi perkenalan katam, dilanjutkan acara pembentukan struktur organisasi kelas. Semuanya berjalan normal dan sesuai rencana. Hanya saja, ada satu blunder Maha-fatal yang dilakukan oleh penduduk kelas itu yang membuat keberlangsungan hidup mereka terancam dan menjadi tidak aman. Ya, saat pemilihan ketua kelas tentu saja.

Sebenarnya untuk membahas masalah ini bisa panjang sekali dan jika sempat akan dibuat satu bab khusus untuk membahasnya. Namun secara singkat garis besarnya adalah seperti ini : jangan pernah percaya pada kesan pertama. Hahaha. Seseorang yang dipilih untuk menjadi ketua kelas yang pada saat itu sangat lanyah berdiplomasi dan licin berorasi itu ternyata sangat lamis dan ulung sekali dalam hal tipu-menipu. Sang kepala suku dari Sumatra ini sangat otoriter dan berjiwa diktator. Huahaha.

Setelah acara pemilihan selesai, kemudian sang ketua ditugaskan untuk mencari dosen yang masih belum juga kelihatan batang hidungnya. Ternyata setelah dihubungi, pak dosen berhalangan hadir dan membuat penghuni kelas sedikit kecewa. Mereka belum sadar kalau ketidakhadiran seorang dosen adalah anugrah bukan musibah. Ah, Dasar Maba.

Satu per satu dari mereka meninggalkan ruangan. Ada yang masih tinggal di dalam untuk sekedar melanjutkan obrolan mereka yang sempat terhenti aksi duo tadi.

Sebenarnya, cerita tidak berhenti disitu saja, namun dikarenakan keterbatasan informasi dan kecetekan ingatan yang labil sehingga membuat cerita terhenti.
Maaf jika ada peristiwa penting yang tidak tercatat dan terlewat. Juga apabila ada yang sakit hati dengan isi tulisan yang jujur ini. Sekali lagi, apologi.
Silakan berkomentar jika ada informasi baru yang bisa menyegarkan ingatan lagi dan untuk membetulkan kesalahan-kesalahan cerita. Salam.


Np : Jubing Kristianto – Once Upon

Comments

Popular Posts