TENTANG PERSINETRONAN INDONESIA



Statement yang tepat untuk membuka tulisan ini adalah : Tubuh manusia terdiri dari 70 % air dan 30 % drama. Akal pikiran yang dianugerahkan Tuhan membuat manusia menjadi sangat emosional dan penuh pertimbangan ‘rasa’ dalam menjalani lika-liku kehidupan. Bahkan kisah Adam dan Hawa ketika diturunkan ke bumi pun terjadi secara dramatis. Sehingga jangan kaget apabila banyak dari kita yang menyukai sesuatu yang mengobrak-abrik emosi, dramatis dan penuh bumbu-bumbu konflik. Apakah sesuatu yang dimaksudkan itu? Sinetron! Suka atau tidak kenyataannya seperti itu.

Membicarakan sinetron Indonesia sebenarnya sangat sederhana. Lain cerita ketika membahas pro dan kontranya bagi masyarakat Indonesia. Seperti yang kita ketahui sinetron adalah tayangan paling disukai masyarakat umum. Hal ini terbukti dari jam tayangnya yang selalu hadir di waktu prime time. Juga rating dari berbagai lembaga riset yang menunjukkan bahwa sinetron-sinetron, baik impor maupun ekspor selalu nangkring di posisi teratas.

Selain itu, juga sudah menjadi rahasia umum kalau kemasan dalam sinetron itu sejak dulu selalu ajeg. Ada protagonis yang super baik yang diduelkan dengan sang antagonis yang super jahat. Si jahat selalu berusaha membuat hidup si baik menderita namun di akhir cerita si baik selalu keluar sebagai pemenang. Cinta, harta dan jabatan selalu menjadi hal yang dipermasalahkan dalam cerita. Meskipun cenderung datar, suguhan seperti itu sudah berhasil mengambil hati penonton.

Nah, seiring perkembangan teknologi yang semakin pesat, penonton yang dulunya diam saja meskipun tidak menyukai sinetron kini menjadi lebih kritis dan vokal terhadap penayangannya melalui media-media sosial. Sampai sekarang ini sudah banyak sinetron yang sudah dilarang berkat petisi dari penonton (meskipun kebanyakan sinetron hanya ditegur oleh KPI).

Mari membicarakan satu sinetron yang sedang dipergunjingkan khalayak ramai sebagai perwakilan sinetron lainnya, Anak Jalanan. Banyak sekali masyarakat yang kontra terhadap acara ini. Ada banyak alasan yang melatarbelakangi ketidaksukaan masyarakat. Di internet sudah banyak penjelasannya, jadi saya tidak akan membahasnya.

Yang ingin saya bahas adalah cerita dari teman saya. Gara-gara sinetron ini, adik dari teman saya yang  masih kelas 4 SD meminta orangtuanya untuk dibelikan sepeda motor. Tentu orang tuanya tidak mengijinkan. Karena tidak dibelikan, si anak nekat meminjam-tanpa-ijin motor matic milik kakaknya. Apa yang terjadi? Si anak itu kecelakaan karena belum mahir mengendarai motor. Ini hanya satu contoh kisah nyata yang saya tahu. Pasti ada cerita-cerita ‘mengenaskan’ lainnya lagi. Dari cerita ini, yang mengganggu pikiran saya untuk berimajinasi adalah, seandainya si anak yang kecelakaan itu orang tuanya adalah sutradara atau produser dari sinetron itu, apa yang akan mereka lakukan?

Selain memberikan contoh yang kurang mendidik bagi anak-anak, masih banyak alasan lagi mengapa sinetron itu dipermasalahkan. Namun kalau boleh saya berpendapat, meskipun sinetron itu mempunyai dampak negatif yang besar, masyarakat tetap tidak boleh main larang-melarang dan meminta agar sinetron itu dihentikan penayangannya. Dalam pembelaan saya, banyak orang yang mencari rejeki lewat sinetron itu. Selain itu, dari segi moralitas hal itu tidak bisa diterima. Menghentikan berarti membunuh. Menurut saya hal itu tidak sopan. Yes, I said it. I meant it. And I’m here to represent it!

Alasan lain lagi mengapa saya tidak setuju dengan petisi-petisi itu adalah karena sinetron itu seperti rumput liar di tanah lapang. Mati satu, tumbuh seribu. Dihentikan satu, maka akan muncul sinetron lain dengan cerita baru kemasan lama. Sampai kapanpun sinetron akan tetap hidup.

Jadi bagaimana jalan keluar yang terbaik? Sebaiknya ada tokoh (sukur-sukur pemerintah) yang turun tangan untuk mengumpulkan tokoh persinetronan, KPI dan masyarakat yang kontra sinetron dalam satu ruangan. Biarkan mereka berunding untuk mencari jalan keluar. Apakah hal itu bisa terjadi? Besar kemungkinan tidak.

Karena hal itu urung terlaksana, lebih baik membahas beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi pro-kontra sinetron. Sukur-sukur para produser membaca tulisan ini dan bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam ‘membikin’ sinetron lagi.

Menurut saya yang membuat sinetron menjadi kurang bermutu adalah faktor kejar-tayang nya. Sudah jam tayangnya yang lebih dari satu jam, sinetron juga tayang setiap hari. Hal ini menurut saya membuat si penulis naskah terjebak dengan deadline, sehingga ide cerita menjadi mentok dan sekenanya. Juga kualitas sinematografi dan dialognya pun sangat jeblok. Yang lebih menjengkelkannya lagi bagi saya adalah backsound yang terlalu berlebihan dan suara hati pemain yang benar-benar di lisankan. Mbok ya biarkan penonton menebak isi hati tokoh-tokohnya. Biarkan penonton menjadi dewasa, sutradara!

Tidak dapat dipungkiri, meski kualitas ‘kurang bagus’ tapi marketing sinetron luar biasa jenius. Mereka berhasil menggaet penonton demi penonton untuk menyaksikan sinetronnya. Nah, harapannya semua sinetron itu jangan hanya mengutamakan kuantitas episode nya, tapi juga kualitas isi ceritanya. Akan lebih baik lagi, jika sinetron itu hanya tayang maksimal lima kali dalam seminggu. Sebenarnya tiga kali seminggu saja sudah berlebihan menurut saya. Hal ini dilakukan agar penulis naskah dan seluruh pemain dan kru sinetron bisa serius membuat tayangan yang lebih bagus. Jangan ada lagi kejar tayang diantara kita.

Selain itu, hal yang lebih penting lagi adalah pembatasan usia penonton. Jangan hanya menandai sebuah acara dengan penggunaan simbol A untuk Anak-anak, R untuk Remaja, D untuk Dewasa, BO untuk Bimbingan Orang Tua, tapi juga dijelaskan sejelas-jelasnya berapa umur yang cukup untuk menyaksikan acara itu. Kalau bisa sebelum mulai opening sinetron, sudah dijelakan bahwa acara itu untuk usia berapa. Lebih baiknya lagi para aktor utamanya yang menerangkannya. Agar lebih jelas.

Setelah itu, menjadi tugas orang tua untuk melarang anaknya agar tidak menonton tayangan yang tidak sesuai usianya. Meskipun pada kenyataannya, justru anak dan orang tua sering nonton bareng sinetron itu. Jadi peran orang tua sangat dibutuhkan sekali dalam hal ini.

Kesimpulannya, menurut saya, jangan main larang sinetron yang tidak disukai. Beri mereka masukan agar acara mereka lebih berkualitas. Kalau tidak digubris, maka sebaiknya yang tidak menyukai itu membuat acara yang lebih bermutu sendiri untuk menyaingi sinetron lawas itu. Atau kalau terlalu sulit, mari berdoa agar sineas muda kita yang sudah sadar dan paham tentang permasalahan utama dunia persinetronan, mulai mengambil alih kendali dan membuat sinetron yang berkualitas.

Sekian.





Comments

  1. Tidak hanya berkoar-koar tidak setuju tapi juga memberikan solusi. Nice, semoga produser, sutradara, dan para sineas televisi baca tulisan ini yaa ^^

    ReplyDelete
  2. sebaiknya tiap sinetron berseri dibatasi jumlah episodenya misal maksimal 12 episode.

    ReplyDelete
    Replies
    1. setuju,, biar jalan ceritanya singkat tapi padet,, bukan seperti sekarang yang justru berkebalikan

      Delete
  3. Sinetron jaman sekarang sama jaman dulu beda benget kang, kalo jaman sekarang sinetronnya tentang cinta-cintaan wae kang ...

    ReplyDelete
  4. Wakakakakakakaak...
    Duh aku sih membatasi adik2ku untuk tidak menonton sinetron ini...
    Tulisan yang bagus Kak

    ReplyDelete
  5. Yang penting sih lo jadikan tontonan itu menjadi sebuah tuntunan. Asik.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts