MENJADI GURU

https://www.educationcorner.com/teacher-burnout.html



“The mediocre teacher tells. 
The good teacher explains. 
The superior teacher demonstrates. 
The great teacher inspires.”  
                 William Arthur Ward

 
“Guru!” Jawabku saat kelas 4 SD ketika ditanya oleh bu Guru ingin menjadi apa aku kelak kalau sudah dewasa.

Beberapa belas tahun kemudian, aku baru saja wisuda dan mendapat gelar ‘Sarjana Pendidikan’. Tinggal selangkah lagi, cita-citaku akan tercapai. Bahkan aku bisa saja langsung mendaftar menjadi guru di suatu sekolah. 
 
Tinggal datang, tunjukkan ijazah, besoknya pasti sudah diangkat menjadi guru. Ya semudah itu. Negaraku yang tidak jelas ini sedang kekurangan banyak guru. Hampir setiap sekolah, terutama sekolah dasar akan langsung menerima sarjana freshgrad sejenis aku ini untuk menjadi tambahan personil di sekolahnya. Tapi tentu saja, gelarnya adalah guru honorer. Kerjanya full time menjadi pendidik dan pengajar, tapi bayarannya sama sekali tidak wajar.

Itulah alasan mengapa aku ingin bernafas dulu. Mencari rejeki lain yang upahnya bisa membuat dompetku ada penghuninya. Toh sudah sejak usia enam tahun aku berteman dengan buku pelajaran, bangku sekolah, papan tulis, ulangan harian dan segala komplotannya yang begitu menjenuhkan. Aku butuh udara bersih. Suasana yang segar. Itu saja.
 
Nah sambil bernafas aku ingin berbagi cerita alasanku mengapa sewaktu kecil bercita-cita menjadi guru.

Jujur, sewaktu ditanya cita-cita oleh bu guru tersebut aku hanya ingin menjawab, ‘menjadi seperti bapakku.’ Ya, aku sangat mengidolakan bapak. Sampai sekarang dan seterusnya. Segala tindak tanduknya sudah menjadi pedoman tingkah lakuku. Berhubung bapakku adalah seorang guru maka jawaban terbaik waktu itu memang ‘Guru’.

Padahal, dipikiranku sebenarnya ada tiga cita-cita mulia yang entah mengapa tidak berani kuutarakan waktu itu. 
 
Pertama, menjadi kapten timnas saat mengangkat Piala Dunia. Dan by the way, cita-cita itu resmi pupus sewaktu FIFA membekukan PSSI beberapa tahun lalu dan juga saat aku sadar bahwa aku tidak begitu terampil dalam mengolah si kulit bundar.

Kedua, menjadi loper koran. Sudah kubilang aku sangat mengidolakan bapakku kan? Nah, bapakku ini setiap pulang kerja selalu membawa koran harian. Aku masih ingat, setiap bapakku pulang kerja, aku dan saudaraku selalu berebut untuk membaca koran yang bapakku bawa. Walaupun saat itu hanya beberapa bagian saja yang kami baca, namun hal itu sangat mempengaruhi kami untuk gemar membaca.

Khususnya aku. Aku selalu marah apabila aku kalah cepat mengambil koran yang bapak bawa di boncengan belakang sepeda ontelnya. Dari situ, aku mulai bermimpi untuk menjadi loper koran saja. Sambil mengantar berita-berita penting yang sudah ditunggu pembelinya, aku bisa istirahat sambil membaca, tidak hanya satu, tapi semua koran yang ku antarkan tersebut. Aku pasti akan menjadi orang paling bahagia di dunia, pikirku. Dan lebih bahagia lagi ketika aku tahu aku tidak perlu berebut dengan saudaraku. Malahan aku tidak akan meminjamkan koranku kepada mereka. Aku agak jahat waktu itu.

Ketiga, sebenarnya ini hanya ambisi pribadi. Kemungkinannya terjadi sungguh sangat kecil. Seperti bocah-bocah normal seumuranku, aku ingin menjadi superhero. Superhero favoritku dulu adalah Power Rangers. Lebih tepatnya aku ingin menjadi Ranger Biru. Aku tidak suka menjadi Ranger Merah karena Merah selalu menjadi pemimpin. Aku tidak suka memimpin. Aku hanya senang bermimpi.
 
Alasanku menjadi Power Rangers, aku ingin mencegat bocah nakal yang selalu mengusiliku. Aku akan berubah wujud di hadapannya. Dengan memencet alat semacam jam tangan dan beberapa kuda-kuda untuk berubah wujud, aku akan tampil keren dengan kostum Power Rangers.
 
Aku yakin dia pasti akan menangis. Tapi bukan karena aku memukul atau menghajarnya dengan kekuatan superku. Aku hanya ingin dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa akulah makhluk terpilih yang menjadi Power Rangers. Dia pasti iri, sebab dia juga bermimpi untuk menjadi Power Rangers. Dan sumpah demi pohon mangga depan rumahku, aku akan mengajak teman-teman terdekatnya menjadi Power Rangers dan dia seorang diri yang tidak kuajak menjadi power Rangers. Dia pasti akan menjadi manusia paling sedih sedunia dan menyesal pernah menjahati seorang Power Rangers. Ternyata aku memang jahat.

Kembali ke poin inti. Singkat cerita SD selesai, SMP lewat dan SMA sudah tamat. Pada tahap ini biasanya persoalan setelah lulus SMA adalah memilih perguruan tinggi yang cocok dan jurusan yang pas. Aku memilih PGSD Universitas Negeri Yogyakarta. Bukan keinginan pribadi, tapi pilihan bapakku. Aku menurut saja karena saat itu aku masih belum tahu mau kemana dan ingin menjadi apa. Pilihan bapakku dan mimpi masa kecil menuntunku untuk menjadi calon guru.

Cara bapak meyakinkanku untuk memilih jurusan itu sangat lucu. Sebulan sebelum ujian nasional, bapakku membawakan oleh-oleh sehabis piknik yang antara lain adalah; baju luar sampai baju dalam, dan celana luar sampai celana dalam. Beliau berkata ‘simpan ini dan pakai ketika kamu sudah kuliah di PGSD UNY’.  Sampai sekarang aku masih tertawa ketika mengingatnya, seolah bapak sudah tahu aku yakin akan diterima di sana. 
 
Dan ternyata memang benar. Aku diterima di PGSD UNY. Sialnya, aku satu kelas dengan teman-teman yang bernasib sama sepertiku. Salah jurusan atau tidak tahu mau mengambil jurusan apa. Tapi ternyata pengalaman kuliah juga sangat menarik dan mengesankan. Syukur, aku berhasil merampungkan kuliahku.

Sekarang setelah selesai, pertanyaannya adalah : sudah siapkah aku untuk menjadi guru?

Jawabanku masih sama seperti yang diatas, aku ingin bernafas dulu. Berpetualang di tempat baru. 
 
Dan benar saja, sekarang aku secara ajaib sudah ada di belakang meja resepsionis sebuah hotel kecil tidak jauh dari rumahku. Berkat bantuan temanku, aku diterima kerja di sana tanpa pengetahuan apapun tentang dunia perhotelan. Saat ini aku hanyalah manusia yang mau disuruh menjadi apa saja asal dibayar.

Tapi aku berjanji, suatu saat jika memang sudah saatnya aku pasti akan kembali ke tujuan awal, menjadi guru.

Aku bicara seolah menjadi guru itu mudah, tinggal masuk keluar sesukanya. Seperti yang kubilang di awal, mudah sekali. Tapi yang ku maksud di sini adalah apakah aku sudah pantas menjadi seorang yang membagikan ilmu dan menjadi teladan bagi murid-muridnya.

Setelah lulus kuliah, aku menyadari menjadi guru itu pekerjaan yang luar biasa sulit dan bebannya tidak main-main. Membentuk manusia yang masih kecil supaya dewasanya ia bisa berguna, atau setidaknya, ia tidak menyusahkan orang lain.
 
Dan maka dari itu, aku harus mengumpulkan segala niat dan pikiran agar benar-benar siap. Oh ya, aku jadi ingat suatu kejadian yang juga mendorongku untuk mantap memilih karier sebagai guru.

Sewaktu masih SMA, kelas berapa aku lupa. Di pelajaran Matematika, setiap ulangan harian hampir semua teman cowok di kelas mendapat nilai tidak lebih dari lima puluh. Sedikit sombong, aku sering mendapat nilai seratus. Bagi teman-temanku remidi untuk memperbaiki remidi sebelumnya adalah hal yang biasa.

Sebenarnya guru Matematikaku itu tidak ada masalah sama sekali dalam mengajarnya. Memang teman-temanku itu saja yang tidak mau memperhatikan saat pelajaran atau mungkin  karena menghormati semangat empat lima, jadi mereka tidak mau nilainya terlalu jauh dari angka tersebut. Nasinonalisme tingkat tinggi!

Singkat cerita sewaktu istirahat sebelum ulangan Matematika lagi, beberapa temanku memintaku untuk mengajari mereka. Aku menyanggupi. Ku ajari mereka bagaimana menerapkan rumus yang tepat untuk soal ulangan. Setelah hasil ujian dibagikan, mereka mendapat nilai yang lebih baik dibanding biasanya. Bahkan, ada satu gondes kelas yang sering mendapat nilai nol, saat itu mendapat nilai sempurna.

Aku masih ingat wajah gembiranya. Katanya, baru kali ini dia mengerjakan ulangan dan mendapat nilai seratus. Dan terpenting lagi, dia mengerjakannya sendiri tanpa mencontek. Sebuah capaian luar biasa yang bisa masuk ke dalam CV nya.

Oke, sombongnya berhenti sampai disini saja. Pesan moralnya adalah, bahkan guru terbaik pun masih kalah dengan aku. Hahaha. Sombong lagi. Maksudnya, dari situ aku mulai sadar bahwa setiap orang  bisa melakukan apa saja, mendapat nilai berapa saja asal diajari dengan cara yang tepat dengan karakteristiknya. Aku rasa, aku bisa menjadi salah satu orang yang mengajarkan cara yang tepat.

Aku rasa aku bisa menjadi guru.

Tapi sebelum itu terjadi, mari bernafas dulu.


Comments

Popular Posts