EPICOENE PART 1 : LILYANA
On forfeit of your selves, think nothing true; (From the second prologue to Epicoene - Ben Jonson) |
Tiba-tiba
pintu terbuka. Jantungku hampir copot. Aku bahkan tidak mendengar langkah
kakinya. Aku takut sekaligus penasaran. Muncul pria berjubah putih dari balik pintu. Perawakannya tinggi besar.
Kumis tebal dan berkacamata.
“Selamat
datang di Klinik kami. Maaf sudah menunggu lama” dia menyapaku sambil
mengajakku bersalaman. Dia mencoba ramah. Tapi aku memiliki kesan yang
berlawanan. Aku dengan berat hati membalas jabatan tangannya yang kekar. Agar
dia tak curiga tentang pemikiran burukku.
Belum
sempat aku membalas salam dari pria tinggi berkacamata, dia sudah menarikku
masuk ke kamar pemeriksaan. “Mari silakan masuk!” Aku tidak bisa apa-apa. Aku
diseret mengikuti langkahnya.
Aku
duduk. Melihat sekitar. Suasananya mirip ruang periksa dokter sungguhan.
Sedikit lega. Lalu aku kembali ke pertanyaanku. Mengapa aku disini? Aku tidak
sakit. Aku masih bingung. Kucoba tarik napas panjang. Mencari seberkas ingatan
dari otakku. Tapi tidak muncul.
Dia
duduk di kursinya. Kami berhadapan. Aku takut. Sialan! Aku mencoba tetap tenang
meski besar kemungkinan celanaku sudah basah. Apa yang akan dilakukan dokter
misterius yang tidak jelas ini. Apakah aku akan menjadi pasien malpraktik? Oh
tidak. Aku tidak sanggup membayangkannya.
Dia
tersenyum. Lalu memulai perbincangan “Jangan takut. Aku disini untuk
membantumu.”
“Maaf,
kenapa aku bisa sampai disini? Aku tidak ingat apapun. Aku bahkan tidak merasa
sakit. Jadi boleh aku keluar dari ruangan ini.” Kuberanikan diriku bicara.
Sedikit tegas. Meski aku masih was-was.
“Hmmmm,
seperti pasien lainnya ketika pertama masuk ruangan ini” katanya. “Kau boleh
pergi dari ruangan ini. Tapi tolong buka dulu amplop di saku kananmu”
Aku
kebingungan. Kuturuti saja keinginannya. Yang penting aku bisa keluar dari
tempat ini. Aku merogoh kantong di jaket lusuhku. Aku merasa ada sesuatu. Benar
perkataannya. Ada amplop putih yang terselip. Aku mengambilnya. Tertulis ‘Diagnosa
Penyakit Pasien’. Aku heran kenapa ada namaku disini. Amplop ini adalah diagnosa
penyakitku. Seingatku akhir-akhir ini aku belum pernah mendatangi klinik atau
rumah sakit.
Kubuka
amplop yang masih kupegang ini. Penasaran apa penyakitku. Aku kaget. Hanya ada
satu kata tertera di lembaran kertas putih ini. Oh Tuhan! Bagaimana dia bisa
mengetahuinya. Apakah dia ini pesulap? Atau justru penyihir?
“Bagaimana
kamu bisa mengetahui ini?”
“Itulah
penyakitmu saat ini.”
“Ini
bukan penyakit. Ini hanya nama seorang wanita”
“Tapi
bukankah kau tidak asing dengan nama itu”
“I...iya
memang benar. Tapi kan…” Kalimatku
berhenti sampai disini. Akhirnya aku mengalah. “Jadi jelaskan apa penyakitku
ini” aku mengganti kalimatku.
“Jelaskan
dulu siapa wanita dalam kertas itu”
“Apakah
penting? Kau yang dokter. Kau seharusnya mengetahuinya.”
“Penyakit
ini akan lebih cepat sembuh jika kau berani menghadapinya. Kuatkan dirimu dan
jujurlah.”
“Aku
tidak sakit! Dan aku tidak ada hubungannya dengan Lilyana” aku tidak tahan
dengan sifat menyebalkannya.
“Awal
yang bagus. Kau sudah berani menyebutkan nama wanita itu”.
Sialan.
Secara tidak sadar aku menyebutkan nama wanita dalam amplop ini. Aku hanya
diam. Aku mulai mempertimbangkan kebolehannya.
“Sekarang
ambil napas panjang. Lalu ceritakan padaku tentang Lilyana. Hanya ada kau dan aku disini. Aku akan berusaha membantumu. Percayalah!” sekali lagi dia mencoba
meyakinkanku. Dan tampaknya kali ini aku termakan perkataannya.
Tidak
biasanya aku menceritakan perasaanku kepada orang lain. Bahkan, aku sering
membohongi diriku sendiri tentang perasaanku. Aku ambil napas panjang. Sambil
membayangkan gambar Lilyana di otakku. “Apa boleh buat. Tidak ada ruginya juga
aku menceritakan ini kepadamu. Lilyana adalah temanku. Sebenarnya aku menganggapnya
lebih dari teman. Tapi kukira dia tidak sependapat. Dia gadis yang menarik.
Cantik pasti. Aku suka sekali melihat senyumnya dan mendengarkan tawanya.
Eksotis dan renyah. Pribadi yang atraktif. Sederhana dan supel. Selalu membantu
temannya yang sedang kesulitan. Dia tidak suka melihat orang lain bersedih.
Mungkin itu sedikit klise. Tapi aku menyukainya. Dan ini yang paling penting.
Ketika aku sedang bersamanya. Seolah-olah aku bisa mengeluarkan semua isi di
kepalaku. Aku sangat nyaman. Aku merasa bebas. Sederhananya, aku sangat
menyukainya!”
“Cerita
yang sangat picisan. Tapi tidak apa-apa. Aku senang mendengar kau mencoba
berkata jujur. Sekarang pertanyaannya, apakah dia sudah punya seseorang yang
perlu kau khawatirkan?”
“Pacar
maksudmu? Aku tidak tahu pastinya. Aku tidak peduli. Aku hanya menyukainya. Aku
tidak suka mengurusi kehidupan pribadi orang lain.”
“Menarik
sekali caramu mengelak. Menurutmu apakah kau merasa dia memperlakukanmu berbeda
dengan teman lainnya? Apakah dia juga punya perasaan untukmu?”
“Berdasarkan
pengamatanku, aku rasa dia memperlakukanku sama seperti dia memperlakukan teman
lainnya. Tidak ada yang spesial. Tapi aku selalu merasakan sesuatu ketika
bersamanya.”
“Apakah
kau dan dia akan tetap dalam posisi ini?”
“Aku
tidak tahu. Biarkan masa depan tetap berada di masa depan.”
“Untuk seorang pesimis, aku setuju perkataanmu. Tapi begini, apakah kau tidak memikirkan rencana
hubunganmu dengannya? Jelas-jelas kau menyukainya. Kau mengatakannya berulang
kali. Apa perasaanmu tidak terganggu?”
“Pertanyaan
yang bagus. Berat untuk menjawabnya. Tapi aku tetap pada rencana awalku.
Melakukan apa yang aku sukai. Dan untuk perasaanku. Ya, kadang ada rasa sepi
dan kosong di malam hariku. Juga di pagi hari bangun tidurku. Tapi aku selalu
mempunyai cara mengatasinya. Aku mempunyai teman, keluarga, hobi dan kesibukan.
Paling tidak itu bisa mengusir kekosonganku.”
“Jangan
tersinggung. Tapi di belahan bumi manapun, tindakan seperti itu disebut
pengecut. Kau bahkan tidak berani mengatakan perasaanmu kepadanya.”
“Silakan
hina aku sesukamu. Aku tidak sakit hati. Aku sudah bahagia dengan keadaanku saat
ini. Bukan bahagia sebenarnya, aku hanya sudah nyaman dengan apa yang kupunya.
Untuk apa aku melakukan sesuatu yang merusak keadaanku.”
“Jadi
kau termasuk orang yang menutup diri terhadap perubahan? Meskipun kadang
perubahan itu bagus dan menyenangkan buatmu.”
“Panggil
aku kolot. Tidak peka. Konvensional. Tadisional. Apatis atau apalah. Aku tidak
peduli. This is my comfort zone. No need to change anything.”
“Dari
skala 1-10, berapa besar kau menyukainya?”
“Aku tidak tahu. Tidak ada angka yang tepat untuk mendefinisikan perasaan ini.”
“Apakah
ada keragu-raguan dalam benakmu?”
“Sepanjang
hidupku aku selalu ragu-ragu terhadap segala hal. Itu tindakan yang bagus dan
bermanfaat”
‘Hmmm…
apakah biasanya memang kau keras kepala seperti ini?”
“Tanyakan
pada orang terdekatku jika kau ingin jawaban yang obyektif. Aku tidak pandai
menilai diriku.”
“Kau
tidak pandai dalam hal apapun. Percayalah. Sekedar saran, katakanlah perasaanmu
kepadanya. Aku pikir cukup adil jika dia tahu kebenarannya. Kau berhutang
kejujuran kepadanya.”
“Untuk
saat ini. aku akan berkata ‘Itu tidak akan pernah terjadi’. Aku sudah bilang
aku sangat menyukai keadaan ini. Aku tidak ingin menjadi perusak suasana.”
“Hmmm..
oke. Jika itu yang kau inginkan. Aku tidak bisa berkata-kata lagi.”
“Jadi,
hanya seperti ini. Aku bicara panjang lebar dan kau hanya menutupnya dengan kalimat itu.
Sangat mengesankan. Kau memang dokter yang hebat.”
“Jawaban
apa yang sebenarnya kau inginkan?”
“Aku
tidak tahu. Aku bahkan masih bingung bagaimana aku bisa sampai disini.
Seharusnya kau yang memberitauku. Kau Dokternya.”
“Jadi
kau ingin jawaban yang sebenarnya dariku?”
“Aku
mulai kurang berminat.”
“Tenang
saja. Kau akan tertarik. Sekarang buka amplop di saku kirimu.”
“Aku
kaget. Trik macam apa lagi ini. Bagaimana dia bisa melakukannya? Timbul rasa penasaran
Lalu dengan cepat aku mengambilnya. Amplop di saku kiriku. Kusobek amplop yang
bertuliskan ‘Resep’. Aku sempat tertawa kecut. Aku buka lipatan kertasnya.
Dannnnn… Aku terdiam. Aku tidak bisa berkata apa-apa terhadap tulisan di kertas ini. Hening. Apa maksudnya ini. Kenapa ada nama wanita lagi. Aku tidak
pernah berpikir sampai sini.
“Jadi
apa maksudnya amplop ini?”
“Itulah
jawabannya. Dari awal kau menceritakan Lilyana, aku tidak mempercayai
perkataanmu. Tapi aku diam saja. Aku ingin mengetahui sejauh mana kau mampu
berbohong”
“Aku
tidak berbohong.”
“Lilyana
memang temanmu. Tapi kau tidak menyukainya. Rasa itu bukanlah cinta. Kau hanya
membohongi dirmu. Selalu seperti itu. Semua hal tentangnya adalah klise. Kau
menempatkan Lilyana di posisi tertinggi dalam hatimu. Tapi dalam hati kecilmu
bukan Lilyana yang kau inginkan. Gadis dalam amlop itu yang kau sukai.
Mati-matian kau membohongi dirimu. Tapi tetap kau tidak bisa. Sekarang bagaimana
menurutmu?”
Aku
hanya diam. Aku kehabisan kata-kata. Memang benar apa yang dia katakan.
Diam-diam aku sangat mendambakan wanita ini, Natsir.
Dia
menungguku berbicara. Aku ingin berbohong tapi rasanya percuma. Lalu tiba-tiba
keadaan menjadi pecah. Terdengar suara sirene dari luar ruangan. Aku rasa ini
adalah sirene tanda kebakaran atau sejenisnya. Suaranya sangat keras.
Semakin keras. Aku tidak kuat mendengarnya lagi. Aku menutup telingaku. Juga
aku menutup mataku.
Beberapa
puluh detik kemudian aku membuka mata. Suara sirine sudah tidak ada.
Dihadapanku sudah bukan dokter itu lagi. Hanya petak-petak berwarna putih yang
dipusatnya ada lampu yang masih menyala. Aku sudah berada di kamarku. Ternyata
hanya mimpi. Mimpi yang aneh. Mimpi yang sangat mengganggu. Aku diam. Menutup
mata. Merenung. Mencoba menerjemahkan maksud mimpi ini sebelum hilang.
Alarm
hapeku berbunyi. Kukira itu masih suara sirene tadi. Memang agak mirip. Aku mematikannya. Bersamaan dengan aku
mematikan alarm hapeku hilang juga ingatanku tentang mimpi barusan. Aku hanya
tersenyum.
Ceritaku tentang Epicoene tidak berhenti sampai di sini saja. Jika engkau masih penasaran dengan kelanjutan ceritaku, sedikit demi sedikit aku sedang berusaha menyelesaikannya. Apabila berkenan, kunjungi link ini untuk kelanjutan ceritanya --->> EPICOENE PART 2 : NATSIR
PS : Epicoene is or a silent woman.
PS : Epicoene is or a silent woman.
Wah...cuma mimpi. Aku suka narasinya. Panjang tapi ga bikin bosen. Eh aku juga suka gaya nulis kayak gini, aku pake gaya ini buat novel, cuma lebih banyak analogi dan ironi, juga metafora berlawanan. Aaah tp aku pikir ini ceritanya bukan mimpi. Masih penasaran sama Natsir, Lilyana. Ada apa sama mereka?? Oia ada beberapa tanda baca yg keliru, tp yg itu masih bisa diperbaiki sih, ga masalah. Minim bgt typi dah. Sip bgt.
ReplyDeletetengkyu... tak perbaiki lagi kedepannya. :)))
ReplyDeleteironi sama metafora berlawanan yaa, hmmmm
Gue lebih sering baca novel terjemahan sih jd style ngomong dan narasi terinspirasi dari sana, tp lagi latihan untuk nyusun kalimat2 yg tadi gue blg, ironi, metafora berlawanan, gitu dah soalnya novel2 luar beda bgt auranya
ReplyDeletekalo gue inspirasinya kebanyakan dari felem
ReplyDeleteoke deh,, gue mau baca novel dulu. biar punya banyak inspirasi. :)))
Lilyana Natsir ? Jadi inget atlet badminton andalan indonesia :')
ReplyDeleteiya gan bener banget,, tapi itu hanya nama alias :)
Delete