EPICOENE PART 2 : NATSIR
On forfeit of your selves, think nothing true; Epicoene or a Silent Woman - Ben Jonson |
Pernahkah kau mengalami mimpi yang berkelanjutan? Maksudku begini, seumpama kemarin kau mimpi makan bakso tapi belum sampai baksomu habis kau sudah terbangun. Kemudian di malam selanjutnya kau akan bermimpi melanjutkan makan baksomu itu. Pernah? Aku pernah. Sering.
Mungkin
karena disetiap malam sebelum tidur aku selalu menyetting sendiri jalan cerita
mimpiku dengan cara membayangkan seseorang. Jadi mimpiku pasti tidak jauh
terkait dengan seseorang itu dan mimpi itu bisa menjadi semacam sekuel. Terus
terang aku sangat menikmatinya. Aku bisa memimpikan bertemu dan berbicara
dengan seseorang yang sangat kukagumi dari kejauhan. Meski hanya dalam dunia
semu imajinasi khayalku.
Masih
ingatkah kau dengan Lilyana? Gadis yang kuceritakan tempo hari dalam mimpiku.
Beberapa hari belakangan ini aku memimpikannya lagi. Jika kau sudah lupa dengan
ceritaku tentang Lilyana kau bisa membacanya di http://xapinos.blogspot.com/2015/01/lilyana.html
Langsung
saja sebelum aku lupa tentang esensi dari mimpiku semalam aku akan
menceritakannya.
Dia
menungguku berbicara. Aku ingin berbohong tapi rasanya percuma. Lalu tiba-tiba
keadaan menjadi pecah. Terdengar suara sirene dari luar ruangan. Aku rasa ini
adalah sirene tanda ada kebakaran atau kejadian sejenisnya. Suaranya terdengar
sangat keras. Semakin keras. Aku tidak kuat mendengarnya lagi. Aku menutup telingaku.
Juga mataku.
Beberapa
puluh detik kemudian suara mengganggu tadi berhenti. Aku membuka mata dan
kulihat si dokter sok pintar itu masih didepanku. Tersenyum. Merasa dirinya
berhasil mengalahkanku.
“Tenang,
itu hanya suara jam dinding di sebelah kananmu. Jangan menjadi penakut. Oh iya.
Maaf lupa, kau memang penakut. Mengutarakan isi hatimu saja kau tidak berani
kan?”
Sialan.
Si dokter itu sudah mulai jumawa. Dia mengejekku seenaknya. Memang aku tidak
terlalu peduli. Tapi aku benci melihat senyum pongahnya. “Bagaimana mungkin
suara jam dinding bisa sekeras dan memekakkan telinga seperti itu? Kau pasti
mengada-ada.”
“Itu
jam dinding istimewa. Jam dinding yang mampu mengukur seberapa bermasalahnya
pasien disini, yang mana sekarang ini adalah kamu. Jika telingamu sampai tidak
kuat mendengarkannya berarti masalahmu sangat besar”
“Mana
ada jam seperti itu! Omong kosong!”
“Jika
kau tidak percaya tunggu saja beberapa saat lagi.”
“Jadi
jam berapa sekarang? Berapa menit lagi jam itu akan berbunyi?” entah kenapa aku
mau mempercayainya.
“Kau
bisa melihatnya sendiri kan?”
Aku
menoleh ke arah yang ditunjukkan si dokter brengsek itu. Mataku terbelalak.
Heran. “Jam itu tidak berangka. Dan bahkan tidak mempunyai jarum arah. Bagaimana
mungkin aku bisa membacanya?”
“Sekarang
jam itu menunjukkan waktu ‘hati sangat bermasalah lebih dari yang terpikirkan’.
Kau mempunyai penyakit yang sangat langka. Aku suka itu. Dan jam itu akan
berbunyi lagi ketika hatimu tidak mampu menahan rasa sakit yang kau simpan.
Jadi siapkanlah dirimu sewaktu-waktu.”
“Aku
tetap tidak percaya bualanmu. Terlebih bagaimana caranya kau bisa mengejutkanku
lagi. Sekarang aku sudah mulai terbiasa dengan trik-trik murahanmu. Aku tidak
akan kaget.” Kubalas kesombongannya dengan kecongkakan akal berpikirku.
“Hahaha.
Lihatlah antusiasme yang kau tunjukkan. Semakin membuatku bersemangat. Sebagai
dokter aku tidak pernah sebergairah ini. Aku sangat menantikan reaksimu ketika
kau melihat yang satu ini.”
“Amplop
di saku mana lagi. Aku sudah mengecek semua kantong saku pakaianku. Tidak ada
amplop yang tersisa. Kau pasti sudah kehabisan ide. Hahaha.” Giliran aku yang
tertawa. Aku ingin menunjukkan kepadanya siapa yang akan tertawa terakhir.
“Atur
nafasmu dan tengoklah ke belakang.” Dia berbicara pelan dengan tetap memasang
senyum menjijkannya.
Aku
menoleh ke belakang, “Apa lagi yang ingin kau tunj….” Aku tidak bisa
merampungkan kalimatku. Aku terdiam. Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa ada
disini. Natsir! Gadis yang selalu kunikmati setiap lapis senyumnya dari
kejauhan itu kini tepat berada di belakangku. Kini aku dan Natsir saling
bersemuka. Sebuah hal yang langka.
Jantungku
seperti digebuk seorang drummer band metal yang sedang marah. Tubuhku seperti
diguyur air keringat yang memancar dari kulit ariku sendiri. Dan seketika itu
ada suara berisik muncul seperti suara sirine sebelumnya yang sekarang semakin
keras. Sangat keras. Sampai-sampai aku merasa mengalami tuli temporer. Aku tidak
bisa mendengarkan suara apapun. Hampa. Aku bahkan tidak bisa mendengar suaraku
sendiri yang aku yakin sekarang sedang berteriak keras sekali. Aku tidak kuat mendengarkan suara ini.
Aku
tidak ingat apa-apa lagi. Aku tidak sadarkan diri.
Ketika
aku membuka mata aku sudah berada di tempat tidurku.
PS : Epicoene is or a silent woman.
PS : Epicoene is or a silent woman.
wah, mimpi itu ya.....
ReplyDeleteIya broo.. Kelanjutan dari mimpi tentang Lilyana
DeleteHabis ini kelanjutan mimpinya apa?
ReplyDeleteTunggu aja bro.. Ahaha
Delete