SEPEDA UNTUK RAGIL
Sudah
jam sepuluh malam Ragil belum bisa tidur. Pikirannya masih melayang-layang
berputar bebas tak karuan seperti layangan yang tadi sore dikejarnya bersama
teman-temannya. Dia masih menyesal karena tidak berhasil mendapatkan layangan
berbentuk burung berwarna merah dan biru tadi. Ragil kalah cepat karena
teman-temannya mengejar layangan naik sepeda. “Seandainya aku punya sepeda
sendiri,” Ragil masih sibuk berandai-andai jika dia yang berhasil mendapat
layangan itu.
Beberapa
saat kemudian terdengar suara pintu kayu tua rumahnya berdecit. Pertanda
seseorang datang. Bapaknya pulang dari bekerja. Bau keringat bapaknya yang khas
membuat Ragil tersenyum lalu bangkit dari tempat tidurnya dan berlari menuju
arah bapaknya.
“Bapak”
“Anak,
jam segini kok belum tidur?” dengan senyum mengembang Pak Tejo langsung
mengulurkan tangannya untuk dicium anaknya.
“Ga
bisa tidur pak Agil. Nanti Agil tidur sama bapak ya?” jawab Ragil manja sambil
mencium tangan keriput bapaknya.
“Tentu,
sekarang tidur di kamar bapak dulu. Bapak mau mandi.”
“Siap.”
Agil langsung bergegas menuju kamar bapaknya.
Pak
Tejo lalu melepaskan rompi orange yang menandakan pekerjaannya sebagai tukang
parkir dan menaruhnya di dinding bambu rumahnya. Di meja makan yang kadang
beralih fungsi sebagai tempat belajar anaknya itu sudah tersedia makan malam
yang sudah disiapkan Ragil untuk Pak Tejo. Di meja itu ada dua piring. Piring pertama
memang untuk Pak Tejo. Namun piring kedua bukan untuk Ragil karena Ragil sudah
makan sedari tadi bakda magrib. Piring itu untuk kakak Ragil, Mas Wicak. Tapi
piring itu tidak pernah terpakai. Pak Tejo pun yang sejak tadi siang belum
makan pun bergegas mandi. Agar dia bisa cepat menyantap makan malamnya. Nasi dan
sayur terong yang dimasaknya pagi tadi.
Selesai
makan Pak Tejo langsung ke kamarnya melihat putra bungsunya. Ternyata Ragil
belum tidur. Matanya masih terbuka. Tidak ada tanda-tanda dia akan tertidur
dalam waktu dekat.
“Bapak,
sini. Ayo tidur.”
Pak
Tejo mengambil sarung lusuh dari keranjang pakaiannya lalu memakainya dan
menghampiri putranya. “Cepat tidur nak, besok sekolah. Jangan sampai terlambat.”
“Bapak,
Agil kangen Emak dan Mas Wicak. Sedang apa ya mereka?” tanya Ragil kepada
Bapaknya sambil memeluknya.
Pak
Tejo menghela napas. Dia sudah menyiapkan jawaban yang tepat untuk menjawab
pertanyaan seperti ini sejak Mas Wicak minggat. “Bapak juga kangen Emak dan Mas
Wicak. Emakmu sedang memperhatikanmu dari atas sana. Jangan sampai kau membuat
kecewa Emakmu, nak.”
“Apakah
Emak kangen Agil ya pak?”
“Pasti.
Emakmu selalu merindukanmu. Kau adalah putra kesayangannya. Emakmu bahkan lebih
menyayangimu daripada bapakmu ini. Tentu dia akan selalu merindukanmu.”
“Kalau
Mas Wicak? Kok ga pulang-pulang ya? Agil kesepian pak. Ga ada yang ngajarin
Agil belajar.”
“Mas
Wicak kan sedang kerja. Ga boleh diganggu. Nanti pasti pulang kalo sudah
selesai.”
“Kok
ga bilang-bilang sama Agil? Apa Mas Wicak marah sama Agil karna meminjam tasnya
tanpa ijin?”
“Engga.
Bukan gitu. Mas Wicak tergesa-gesa berangkatnya. Jadi hanya pamitan sama Bapak.
Sudah. Jangan bicara lagi. Tidur, nak!”
“Agil
belum ngantuk. Pak,?” Ragil menahan kalimatnya.
“Ada
apa?”
“Teman-teman
Agil sudah punya sepeda semua. Agil pengen punya sepeda. Boleh ngga?” akhirnya
Ragil berani mengatakannya. Hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya.
Pak
Tejo terkejut mendengar permintaan Ragil. Selama ini Ragil jarang meminta
sesuatu untuk kesenangannya. Dia hanya minta uang untuk keperluan sekolahnya. Pak
Tejo tentu ingin menyanggupi permintaan Ragil. Tapi keadaan ekonomi keluarganya
sedang sulit. Pak Tejo punya banyak hutang sana sini akibat ulah Mas Wicak yang
kalah taruhan dan judi. Banyak teman-teman Mas Wicak yang mendatangi Pak Tejo
untuk mengaih hutang Mas Wicak. Itulah alasan sebenarnya mengapa Mas Wicak
minggat. Dia kabur karena punya banyak hutang. Mas Wicak tidak pernah
berpamitan. Sampai sekarang tidak ada yang tahu dimana keberadaannya.
“Tentu
boleh nak. Tapi tunggu sampai bulan depan ya. Bapak belum punya uang. Sekarang kamu
berlatih naik sepeda dulu. Agil belum bisa kan?” Pak Tejo menjawab agak ragu.
Akhirnya
kata-kata yang diharapkan Ragil keluar juga dari mulut bapaknya. “Asyik. Tapi
Agil maunya bapak yang ngajarin.”
“Ya
sudah. Nanti kalau sudah punya sepeda Bapak yang ngajarin Agil. Sekarang Agil
tidur dulu. Bapak juga sudah ngantuk.”
Ragil
diam. Senyum mengembang di mulutnya. Lalu dia menutup matanya. Bersiap memimpikan
dirinya diajari naik sepeda oleh Bapaknya.
Bersambung
Semoga ragil bisa segera bersepeda :)
ReplyDeleteKita lihat apa yang terjadi selanjutnya, haha
ReplyDeleteCepetan punya sepedaaaa ih kasian Ragil. Polos bgt dia...
ReplyDeletemari berdoa untuk ragil
Delete