GADIS PEMBUAT KOPI : PART 1
~Mungkin sulit untuk menunggu sesuatu yang mungkin tak kan terjadi. Tapi lebih sulit untuk menyerah, karena aku tahu dialah gadis yang paling kuinginkan.~ |
Jam
di tembok kafe sudah menunjukkan angka sebelas. Waktunya untuk pulang. Besok
akan menjadi langkah terpenting dalam hidupku. Aku dan beberapa rekan kerjaku akan
berangkat ke Jepang. Ada tawaran pekerjaan di Tokyo. Tanpa pikir panjang aku
menerimanya. Kesempatan tidak datang dua kali, kan? Pada akhirnya aku bisa
membuktikan bahwa semua usahaku tidak sia-sia. Perjuanganku membuahkan hasil!
Lantas kenapa aku malah disini. Di
kafe yang hampir selalu sepi ini. Seharusnya aku dirumah. Mempersiapkan barang-barang
yang harus kubawa ke negaranya Kenshin itu atau setidaknya berpamitan kepada
keluarga, teman dan tetanggaku atau bisa juga tidur. Tentu aku mempunyai alasan
untuk pertanyaan tersebut. Alasan yang bagiku sangat masuk akal. Gadis pembuat
kopi. Dia adalah seorang pelayan di kafe ini. Aku kemari hanya untuk melihat
senyum misteriusnya dan merasakan pahit kopi buatannya untuk yang terakhir.
Sebelum aku berangkat.
Di usiaku yang sudah menginjak kepala
tiga ini seharusnya aku sudah berkeluarga. Hidup bahagia bersama istri dan
anak-anakku. Tapi aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Terlebih aku juga
terlalu sibuk memperhatikan gadis pembuat kopi itu. Dulunya, ia adalah teman
sekelasku waktu SMA. Gadis dengan senyum misterius adalah sebutannya.
Sebenarnya hanya aku saja yang menjulukinya. Tapi memang benar begitu. Dia
mempunyai senyum yang aneh. Entah kenapa aku sangat menyukainya. Dia adalah gadis
paling pendiam yang pernah kutemui. Jumlah temannya bisa dihitung dengan jari.
Sebenarnya dia tidak pernah kekurangan penggemar. Banyak pria pernah mencoba mendekatinya,
tapi semuanya menyerah dengan keteracuhannya. Mereka tidak pernah tahu cara
untuk mendapatkan hatinya. Begitu juga aku.
Aku bahkan tidak pernah berani membuat langkah nyata untuk mendekatinya.
Aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Meskipun begitu tatapannya sangat
mengintimidasi. Sungguh. Dia adalah Monalisa
berwujud manusia.
Dia
terlalu sibuk dengan dunianya. Entah dunia apa aku juga tidak tahu. Tapi yang
jelas dia tidak peduli dengan dunia di sekelilingnya atau mungkin saja dia
hanya pura-pura tidak peduli. Aku tidak tahu. Aku sangat penasaran apa isi otaknya. Bagaimana
dia bisa bersikap seperti itu. Sebenarnya ada kalanya aku membenci sifatnya
tapi anehnya di waktu yang bersamaan pula aku menyukainya. Kediamannya adalah
daya tarik paling mempesona bagiku. Tidak peduli bagaimana caraku untuk tidak
peduli, aku masih tetap mempedulikannya. Sulit untuk menafikan hal itu.
Meskipun
masa SMA kulalui dengan bahagia namun kurang sempurna karena aku tidak sempat
mengenalnya lebih dekat. Aku juga pernah mengalami sebuah momen memalukan yang
tidak akan pernah kuceritakan kepada siapapun yang membuatku terkenal sewaktu
SMA. Tapi aku bahkan tidak yakin gadis itu mempedulikannya. Dunianya adalah
dia, tanpa ada dunia di sekitarnya.
Setelah
lulus SMA aku tidak tahu lagi kabarnya. Aku kuliah di luar kota dan dia tetap
menjadi dirinya, misteri. Teman-temanku tidak ada yang tahu keberadaannya. Ada
sedikit kelegaan dalam hati karena aku bisa melupakannya dan mencari perempuan
lain. Dan benar saja, banyak perempuan yang lalu lalang dari kehidupanku
setelah aku tidak memikirkan gadis itu. Namun aku tidak pernah bisa menemukan
perempuan yang bisa membuatku merasa seperti ketika aku merasa pada gadis itu.
Gadis pembuat kopi.
Sampai
pada waktu itu, tiga tahun yang lalu. Aku tersesat dan tersasar di kafe ini. Di
tengah serangan hujan yang memburu, aku memberhentikan langkahku sepulang kerja
dari kantor baruku dan mampir di kafe ini untuk sekedar berteduh. Dari luar
jendela, aku melihatnya. Dia sedang menyeduh kopi. Aku langsung tahu bahwa dia
adalah gadis itu. Hanya melihatnya selama tidak lebih dari lima detik saja aku
langsung jatuh cinta lagi dengannya. Perasaanku yang sudah terkubur ini
tiba-tiba tumbuh lagi. Bahkan aku berani menyeret takdir dalam kisahku dengan
gadis itu. Aku beranggapan takdirlah yang mempertemukan aku dengan gadis itu. Jika
sampai pada akhirnya aku masih tidak bisa mendapatkannya, takdir yang harus
bertanggung jawab. Meskipun setiap kali aku datang ke kafe ini aku tidak pernah
berani untuk mengajaknya bicara. Kata-kata yang sudah kupersiapkan di otakku
tiba-tiba menghilang, enyah entah kemana. Suaraku hanya mentok sampai ke
pangkal tenggorokan. Lebih baik berdebat dengan angin daripada berbicara dengannya.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku setiap aku bertemu
dengannya. Paling banter kata yang terucap hanya ‘kopi pahit Sumatra, mbak!’
Pernah
aku berpikir bahwa perasaan ini hanya obsesi belaka. Mungkin aku hanya
mengaguminya. Aku hanya menyukainya karena dia adalah sesuatu yang belum pernah
kumiliki sebelumnya. Seperti obsesiku pada beberapa perempuanku dulu. Aku akan
bosan dengannya ketika aku sudah mengenalnya lalu hilanglah perasaanku padanya.
Tapi sampai kalimat ini, pikiranku buru-buru menginterupsi, “Dia bukan gadis
biasa, bodoh! Dia istimewa. Kau tidak boleh menyerah pada seseorang yang kau
cintai. Memang ini adalah proses yang lambat, namun menyerah tidak akan
mempercepatnya. Jika kamu benar-benar mencintai gadis itu menunggu seberapa
lamapun akan terasa cepat.“ Menyabalkan sekali. Perang batin yang berkecamuk di
diriku dimana aku adalah protagonis dan antagonis utamanya.
Pikiran-pikiran
seperti itulah yang tiga tahun ini kurasakan. Setiap kali datang kemari aku
selalu berjanji akan mengajaknya berbicara. Tapi sampai kafe ini tutup aku
tidak punya nyali bahkan hanya untuk mendekatinya. Mungkin Tuhan sudah
menghilangkan syaraf keberanianku tiap kali aku akan mendekatinya.
Aku
bahkan mulai menemukan bakat terpendamku untuk berbicara sendiri ketika sedang
memandangnya. Sambil menyeruput kopi buatannya, akan selalu timbul
dialog-dialog bodoh antara otakku dengan hatiku yang kadang menguatkanku untuk
tetap bertahan setia menunggunya dan tak jarang pula mengecilkan nyaliku setiap
kali akan mendekatinya. Alhasil sampai sekarang aku masih duduk di kursi ini.
Masih menyeruput kopi buatannya. Masih menikmati senyumannya. Dua-duanya sama
pahit.
Setiap
kali aku datang ke kafe ini aku selalu membawa
sebuah tas kecil. Isinya adalah buku bacaan, beberapa lembar kertas dan
pulpen. Kadang aku pura-pura membaca novel setiap kali aku ingin memandangnya.
Tapi kebanyakan aku akan menulis surat untuk gadis itu. Aku selalu berusaha
untuk kelihatan sibuk di kafe ini agar dia tidak curiga maksud kedatanganku yang hanya ingin menikmati keindahannya. Menulis
adalah pelarianku ketika aku tidak berani berbicara dengannya. Rencanaku
sederhana, aku akan membacakan suratku untuknya ketika sudah sepi, setelah kafe
ini tutup. Tapi sampai sekarang rencana itu belum pernah terealisasikan.
Alasanku tentu adalah karena aku merasa hal yang kulakukan itu adalah konyol
dan klise. Terlebih juga tulisanku tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Aku
bukan pujangga. Aku tidak hebat dalam mengolah kata menjadi sesuatu yang
bermakna.
Aku tidak sadar betapa hebatnya aku yang
sudah tiga tahun menunggunya. Juga betapa pengecutnya nyaliku yang tidak berani
mendekatinya. Sampai sekarang aku masih tidak berani untuk berbicara dengannya.
Memandangnya dari dekat saja aku tidak sanggup.
Bahkan di detik-detik terkahir waktuku bisa sepuasnya memandangnya aku masih
tidak berani mendekatinya. Walaupun aku sudah berjanji untuk berbicara
dengannya malam ini. Tapi selalu dan seperti itu. Mulutku terkunci ketika aku
mulai memperhatikannya.
Sedang asyiknya aku berkhayal dengan
imajinasi liarku. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Rekan kerjaku yang juga akan
berangkat ke Jepang menelponku. Kuangkat telponnya, tapi suaranya
terputus-putus dan terdengar riuh bising jalan raya menjadi latar belakang
suaranya. Aku tidak mendengarnya. Aku mencoba mendekat ke arah jendela kafe
berharap sinyal tak segan menghampiri ponselku.
“Hei
suaramu putus-putus. Kau sedang dimana?” tanyaku padanya.
“Aku
sedang on the way ke kantor. Cepat kamu juga. Ada berita mendadak. Kita akan berangkat
ke Tokyo lebih cepat. Bukan lusa tapi besok pagi. Jadi malam ini kita harus ke
kantor. Bus travel sudah menunggu. Kita berangkat ke Bandara malam ini. Cepat!”
ucapnya sambil terburu dengan suara yang lebih jelas dari sebelumnya.
“Kenapa
aku tidak diberitahu?”
“Bos
hanya memberitahuku saja. Aku yang menjadi ketua tim ini. Jadi aku yang
memberimu informasi sekarang. Kutunggu di kantor setengah jam lagi. Tidak ada
waktu.” Katanya memberi komando.
Tanpa
sempat aku membalas perintahnya dia sudah menutup telponnya. Aku yang masih
terkejut pun lalu buru-buru keluar dari kafe ini. Tanpa mengucapkan salam
perpisahan kepada gadis pembuat kopi itu. “Ah mungkin dia bukan jodohku.
Jodohku pasti ada di Jepang”, batinku coba meyakinkanku. Mungkin aku harus
menyerah terhadap gadis pembuat kopi itu. Bukan karena aku sudah tidak peduli
lagi tapi karena dia tidak. Manusia kadang harus menerima kenyataan bahwa
seseorang hanya bisa ada di dalam
hatinya bukan di kehidupannya.
Ketika
aku sampai di pintu keluar kafe, tiba-tiba ada suara yang memanggilku. Bukan
namaku memang, tapi aku sangat familiar dengan panggilan itu dan suara sang
pengucap. Tidak salah lagi. Dia, gadis pembuat kopi itu memanggilku.
“H ey, helo kitty. Kau lupa tasmu!”
ucap gadis pembuat kopi itu mengulangi kalimatnya barusan. Ternyata dia masih
ingat dengan tragedi memalukanku sewaktu SMA dan julukanku yang memuakkan itu.
Hebatnya, dia masih ingat diriku. Teman SMAnya dulu. Tapi kenapa dia tidak
pernah menyapaku selama tiga tahun ini. Ah pasti karena dia memang tidak suka
bicara. Seperti kilat, kalimatnya itu memunculkan berpuluh-puluh pertanyaan di
kepalaku dalam waktu sepersekian detik. Apa yang harus kulakukan? Selama tiga
tahun aku menunggunya, baru sekarang dia bicara padaku. Lucu dan memalukan juga
kalau dipikir-pikir. Apakah aku sepengecut itu?
Aku
tahu. Yang harus kulakukan adalah mengambil tasku dulu, “Oh, iya lupa. Terima
kasih telah mengingatkanku,” balasku. Tapi dia sudah tenggelam dengan
kesibukannya membersihkan meja-meja yang kotor di depannya. Aku berjalan ke
kursiku tadi. Kuambil tasku. Lalu terpikir olehku, jika dia tahu siapa aku
selama tiga tahun ini berarti dia mempedulikanku. Dia bahkan ingat panggilanku
waktu SMA. Aku berpikir sejenak. Aku tarik nafas dalam-dalam. Aku beranikan
diri untuk berjalan menghampirinya. Aku tidak yakin apa yang akan terjadi
setelah ini.
“Tas
ini untukmu.” ucapku padanya sambil memberikan tasku.
“Apa
maksudnya?” tanyanya kebingungan.
“Bukalah,”
perintahku.
Dia
hanya diam sambil mengambil tas yang sudah kutodongkan di hadapannya. Dia duduk
sambil membuka tasku. Aku mengikuti gerakannya. Kami duduk berhadapan di kursi yang
baru saja dibersihkannya.
Dia
membaca satu per satu surat yang sering kutulis tiap kali aku datang ke kafe
ini. Aku menatap matanya. Entah dia tidak tahu atau sedang sibuk dengan suratku,
yang jelas dia tidak mempedulikanku. Dia asyik dengan surat-suratnya. Tidak ada
ekspresi apapun dari raut mukanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah
dia membaca surat-surat itu. Tapi satu yang pasti, aku sangat yakin bahwa hal
ini adalah hal yang paling benar yang pernah kulakukan selama tiga tahun aku disini.
Pengunjung
kafe hanya tinggal beberapa. Mereka tidak mempedulikanku yang sedang menatap
gadis pembuat kopi. Sepi. Tidak ada suara dari para pengunjung kafe. Jam di
dinding dan arlojiku pun tidak berdetak. Bahkan meski jantungku berdegup
kencang aku tidak mendengar suaranya. Aku hanya menikmati memandangnya yang
sedang membaca suratku untuknya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan telpon dari
temanku tadi. Yang kuingat hanyalah perkataan ayahku. Kejarlah impianmu sejauh
dan setinggi apapun impian itu, katanya waktu itu. Dan ketahuilah ayah, saat
ini aku sedang mengejarnya. Jepang memang salah satu impian besarku. Tapi gadis
pembuat kopi itulah impian terbesarku. Aku sedang mengejarnya saat ini.
Ketika
dia selesai membaca suratku yang terakhir dia lalu menatapku. Sangat tajam. Aku
dengan kewalahan mengumpulkan keberanianku untuk tetap membalas tatapannya.
Kami hanya saling beradu tatap. Jantungku berdegup sangat kencang. Aku tidak
tahu apa yang akan dikatakannya. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan. Kami
hanya saling beradu tatap. Dalam waktu yang cukup lama. Tidak ada sepatah
katapun yang terucap. Baik dari mulutku maupun dari mulutnya. Kami hanya saling
beradu tatap. Tanpa kata.
There are no words. Yeah,
I swear this much is true. There ain't a word in this world that describe you,
that describe you. (The Script – No Words)
Cakep..
ReplyDeleteGadis pembuat kopi..
Woow.. Yg cakep orangnya apa tulisannya nih?? Hehe
DeletePasti deh gitu. Cowok mah bilang cinta aja susaaaah banget sampe taunan. Payah ah hahahaha
ReplyDeleteThats the beauty of it. Hha
Deletedrpd penasaran, aku anggab aja co dan ce ini jadian ya ...trs si ce disuruh nunggu conya sampe pulang dr jepang :D
ReplyDeleteGitu juga boleh,, tapi masih ada kelanjutannya kok ini,, wkwkwk
DeleteKisah WKC ditunggu gan
ReplyDeleteTunggu aku keluar dari kosnya dulu gannn
Deleteayo bang, ditunggu cerita lanjutannya hihihi :D
ReplyDeleteOke,, dengan senang hati. Tunggu aja hha..
DeleteBtw,, makasih udah mampir ...
Hmmm tulisannya enak...kata2nya renyah dan mengalir bagae air
ReplyDeleteMakasih udah mampir ,,
DeleteSenyum gadis berkaca mata
ReplyDeleteMaksutnya apa ini??
DeleteJadi pengen minum kopi nih kalo pembuat kopinya gadis cantik...
ReplyDeleteBaca juga blog ane ya di www.fadilfadilan.blogspot.com
Ahaha,, emang elu ada yg mbuatin kopi? #ups
DeleteOke,, gue pasti mampir ke blog ente..