EPITOME : MELISANDRE
“Jadi apa maksud dari
semua ini?”
Entah dia memang tidak
terlalu bagus dalam hal membaca atau memang tulisanku sangat jelek sekali
sehingga kalimat pertama yang diucapkannya seperti itu. Meskipun begitu, ada sedikit
kelegaan akhirnya dia mau bicara setelah beberapa puluh detik kami saling
mengheningkan cipta. “Apakah surat-surat itu tidak begitu jelas untukmu?”
kataku sedikit kecewa.
“Apakah kau mencintaiku?”
tanyanya langsung ke inti permasalahan dengan ragu.
“Apakah aku harus
mengulangi pertanyaanku lagi?” aku sangat heran dan mulai ragu-ragu dengan
kemampuannya menyimpulkan sesuatu. Apakah dia memang tidak sadar kalau aku
adalah orang yang mengejarnya selama tiga tahun ini. Mengejarnya dalam
pikiranku maksudnya.
“Oke, aku mempunyai
beberapa pertanyaan untukmu. Pertama, apa yang membuatmu mencintaiku?”
“Tidak bisakah kita
melewati pembicaraan ini dan langsung ke kesimpulan saja. Apakah kau mencintaiku
juga?” tanyaku.
“Bagaimana
bisa aku mencintai seseorang tanpa pernah mengenalnya?”
“Kau
mengenalku. Kau menyebut nama panggilanku tadi.”
“Ada
perbedaan yang jelas antara mengenal dan mengetahui nama seseorang.”
Aku
diam. Memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaannya. “Ya, aku
mencintaimu. Sejak dulu. Sejak kita satu SMA.”
“Mengapa
kau tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Dengan
sifatmu yang sedingin kutub utara itu aku tidak yakin kau akan memperdulikanku.”
“Apakah
sekarang kau yakin aku akan memperdulikanmu?”
“Tidak
juga. Sekarang ini aku hanya tidak peduli tentang yakin atau tidak yakin. Aku
hanya ingin mengatakannya. Aku mencintaimu, Melisandre!”
“Apakah
kau punya bukti nyata cintamu selama beberapa tahun belakangan kau di kafe ini selain
surat-surat konyolmu?”
“Ya
itu. Selama beberapa tahun belakangan aku di kafe ini adalah bukti cintaku.”
“Kau
hanya duduk di kursi itu dan tidak melakukan tindakan apapun.”
“Itulah
kekuranganku.” Seandainya kau tahu betapa berat perjuanganku selama tiga tahun
duduk di kursi itu, Melisandre. Hanya diam saja dan tidak berani mendekatimu.
“Bagaimana
jika aku sudah mempunyai pasangan?”
Aku
hanya tersenyum. “Selama tiga tahun aku di kafe ini, aku tidak melihat kau
diantar atau dijemput oleh seorang laki-laki. Untuk gadis yang bekerja sampai
selarut ini, seharusnya ada yang mengantarmu pulang. Terlebih kalimatmu barusan
juga sangat tidak meyakinkan. ‘Bagaimana jika’ adalah pengandaian tentang
sesuatu yang tidak atau belum pernah terjadi.”
Dia
diam saja. Aku masih menunggu responnya. Entah kenapa aku bisa berani berbicara
dengannya malam ini. Suatu hal yang sangat ajaib.
Kebekuan
akhirnya pecah. Bukan aku atau Melisandre yang memecahkan kebekuan itu
melainkan Manager kafe yang juga bos dari Melisandre yang menyuruh kami berdua
untuk pergi dari kafe ini. Dia akan mengunci kafe ini. Lucunya, aku dan
Melisandre tidak sadar jika hanya tinggal kami berdua dan satu setan yang menjelma menjadi manajer
sialannya saja yang masih di kafe ini. Melisandre beranjak dari kursinya. Pergi
ke ruang karyawan dan mengambil barang-barangnya. Sementara aku sudah di luar
kafe dengan manajernya menunggu Melisandre keluar.
Setelah
manajernya menutup kafe ini dia pun berpamitan kepada kami. “Benarkan
perkataanku tadi. Tidak ada yang menjemputmu.”
“Apakah
masalah jika tidak ada yang mengantarku pulang malam ini?” balasnya ketus.
“Tidak
ada. Sama sekali tidak ada. Justru itu akan menjadi sebuah kehormatan bagiku
untuk menjadi orang pertama yang mengantarmu pulang.”
“Aku
bisa jalan sendiri. Aku bukan bayi.”
“Kalimatku
barusan bukan tawaran. Itu adalah perintah.”
“Terserah
kau saja.”
Akhirnya
dia menyerah. Kami berjalan bersama. Layaknya sepasang kekasih sepulang kencan.
Aku sangat berharap rumahnya terletak ribuan kilometer dari kafe ini.
“Hanya
tinggal kita berdua sekarang. Masihkah kau mau melanjutkan pembicaraan kita
tadi?” kataku mengganti topik pembicaraan sambil menikmati setiap jengkal
langkah bersamanya. Gadis yang sangat kupuja.
“Tidak
ada yang perlu dibicarakan. Semuanya sudah jelas. Kau tahu, pengecut adalah
sifat yang paling kubenci. Kau dan aku tidak akan pernah bertemu di satu titik.”
Kalimat
itu sangat menusukku. Aku tidak pernah menyangka dia akan sekejam itu. Membunuh
benih kasih yang baru saja akan kutumbuhkan di hatinya.
“Setidaknya
aku sudah berani mengatakannya sekarang. Kau hanya baru tahu sifat burukku
saja. Aku mempunyai sifat lain yang belum kau ketahui. Setidaknya kita mencoba
dulu. Jangan buru-buru kau memutuskan.”
“Tidak
ada yang perlu kita coba. Untuk apa mencoba sesuatu yang sudah jelas hasil
akhirnya.”
“Apakah
tidak ada sedikitpun rasa simpatikmu terhadapku?”
“Selain
rasa kasihan kepadamu yang telah sia-sia menunggu di kafe itu selama beberapa
tahun, rasanya tidak ada.”
“Jika
hanya hal itu yang bisa membuatmu simpati kepadaku, maka aku akan tetap berada
di kafe itu. Kali ini akan kulakukan berbagai cara agar kau mencintaiku. Aku akan
..”
Belum
sampai kalimatku yang berapi-api itu selesai, telepon genggamku berdering.
Orang yang tadi menyuruhku untuk cepat-cepat ke kantor itu menelepon lagi. Tidak
kuangkat. Aku sedang dalam momen paling hebat dalam hidupku.
“Kenapa
tidak diangkat? Apakah itu penelepon yang sama seperti yang tadi yang membuatmu
buru-buru pergi dari kafe?” Kuluruskan, bukan
buru-buru pergi dari kafe, buru-buru pergi darimu, Melisandre.
“Benar.
Tapi sekarang sudah tidak penting lagi.” Tidakkah
kau tahu, kau adalah hal paling penting bagiku.
“Siapa
itu?” tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan dari pembicaraan canggung sejak
awal kita saling berbicara. Setidaknya ada hal yang bisa dibicarakan selain
berbagi perasaan malam ini, pikirnya.
“Orang
kantor.” Aku hanya mengikuti arah pemicaraannya. Meski agak kesal juga
pembicaraan serius tadi terganggu panggilan telepon ini.
“Kenapa
selarut ini dia menelepon?”
“Dia
menyuruhku untuk pergi ke kantor malam ini.”
“Apakah
ada pekerjaan yang membuatmu harus lembur?”
“Sebenarnya,
dia menyuruhku ke kantor untuk kemudian berangkat ke Jepang. Ada proyek kantor
yang membuatku dan beberapa rekan kerjaku dipindahkan ke Tokyo. Rencana awalnya
adalah besok lusa kami berangkat. Tapi tadi ada perubahan mendadak yang membuat
kami harus berangkat malam ini.”
“Kenapa
kau tidak buru-buru ke kantor?”
Kenapa tidak mengerti
juga kau ini, Melisandre. Aku hampir putus asa.
“Apa perlu kujelaskan sekali lagi?”
Langkahnya
terhenti. Menandakan sesuatu yang akan disampaikannya akan terdengar sangat
penting. Aku memasang telingaku. Mataku. Pikiranku. Seluruh aku bersiap mendengarkan kalimatmu, Melisandre. Mungkin ini
akan menjadi final pembicaraan kami berdua malam ini.
“Dengar.
Sejak awal kau melangkah ke kafe itu, aku tahu ada sesuatu yang membuatmu
tetap betah di kafe itu. Aku juga sempat
berpikir itu adalah aku yang membuatmu tetap di sana. Tapi sudah kubilang aku
tidak suka kepada lelaki pengecut. Aku menunggumu selama tiga tahun untuk kau
membuat sebuah langkah. Tapi nyatanya kau tidak pernah. Dan untuk masalah
Jepang ini, mari kita berpikir beberapa lngkah ke depan. Anggap saja jika malam
ini aku menerima cintamu. Kemudian kita bersama. Bagaimana jika beberapa tahun
setelahnya kita akan mengalami perdebatan, seperti layaknya pasangan pada
umumnya. Kemudian kau akan sampai pada kalimat penyesalan karena lebih
memilihku daripada pekerjaan di Jepang itu. Aku tidak mau menjadi alasan itu.
Sebuah alasan yang menggagalkanmu meraih mimpimu.”
Aku
terdiam. Perkiraanku tepat. Kalimat yang dia katakan itu adalah kalimat paling
menusukku diantara kalimat-kalimat tajamnya malam ini. Aku masih dalam proses
mencerna kata-kata dari lidah beracunnya dan dia sudah bersiap melanjutkan
kalimatnya.
“Sebaiknya
kau cepat menyusul temanmu itu ke kantor. Pergilah ke Jepang.”
“Lalu
bagaimana dengan kamu. Bagaimana dengan perjuanganku selama tiga tahun ini.”
“Berapa
lama kau akan tinggal di Jepang?”
“Mungkin
setahun. Paling lama dua tahun.”
“Dalam
waktu itu kita bisa saling memikirkan masa depan kita masing-masing. Mungkin
ini terdengar aneh dan aku juga sulit mempercayai kalimat ini tapi
dengarkanlah. Aku akan menunggumu.”
Aku
tidak menyangka dibalik setiap kalimat sinis dan kejamnya, ada rasa lembut di hatinya.
Entah kenapa kalimatnya menyihirku untuk merevisi pemikiranku tentang tawaran
ke Jepang itu.
“Apakah
kau serius dengan kalimatmu?”
“Setidaknya
aku akan mencoba. Aku juga masih bingung dengan perasaanku.”
“Benarkah?”
“Aku
juga tidak sepenuhnya janji. Aku akan mencari tahu. Usia kita sudah tidak muda
lagi. Yang paling penting saat ini kau harus cepat ke kantormu. Pergilah ke
Jepang. Setelah ini kita sama-sama akan saling mencari tahu apa yang kita
inginkan. Apa yang terbaik.”
“Jadi
apakah ada sedikit rasa cinta di hatimu untukku?”
“Aku
tidak tahu. Mungkin sedikit. Cepatlah pergi. Rumahku sudah dekat. Aku tidak
perlu di antar lagi. Tinggal masuk jalan setapak itu dan aku sudah sampai. Terima
kasih telah mengantarku.”
Entah
kenapa kalimatnya sangat sugestif. Membuatku tunduk dan menyanggupi segala
perintahnya. “Baiklah. Aku akan pergi ke Jepang. Aku akan mencari tahu apa yang
sebenarnya kuinginkan. Percayalah padaku aku mencintaimu.”
Dia
tidak menjawab. Dia hanya mengucapkan selamat tinggal dan melanjutkan
langkahnya.
Aku
masih terdiam. Masih bimbang tentang langkah apa yang akan ku ambil. Masih takjub
dengan malam istimewa ini. Akhirnya aku menurutinya, aku berjalan berlawanan
arah dengannya. Kuambil handphoneku dan kutelepon supir pribadiku untuk
menjemputku dan segera berangkat ke kantor. Meninggalkan dia, Melisandre si
gadis pembuat kopi. Entah apakah ini langkah yang tepat yang ku ambil malam
ini. Malam ini berjalan terlalu cepat. Otakku masih sulit untuk mencerna apa
yang terjadi beberapa jam belakangan ini. Selamat tinggal Melisandre. Setahun rasanya
tidak ada apa-apanya daripada penantianku selama tiga tahun lalu.
***
Setelah
sampai di rumahnya, Melisandre langsung menuju kamarnya, ganti baju dan
kemudian pergi ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. Malam ini
terlalu larut dan ganjil baginya untuk mandi seperti biasanya sepulang dia
kerja. Setelah selesai, Melisandre pergi ke dapur untuk meminum air dingin dari
kulkas. Ternyata dugaannya terhadap pria Hello Kitty yang selama tiga tahun
belakangan ini duduk di kafe tempatnya bekerja sangat tepat. Ia masih
terheran-heran dengan tingkah laku pria itu. Sebenarnya, sebagai seorang wanita
ada rasa bahagia dalam dirinya ketika dia tahu bahwa dia dikagumi oleh seorang
pria. Tapi karena pria itu juga sangat pengecut maka Melisandre pun juga tidak
menyukainya. Tapi entahlah, dia juga masih bingung dengan percakapan yang dia
lakukan dengan pria itu dalam perjalanan pulangnya. Kenapa dia bisa berani
berkata dia akan menunggunya. Apa hak pria itu sampai dia rela menunggunya? Pikirannya
masih melayang-layang memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah dia
akan benar-benar menunggu pria pengecut itu.
Ketika
dirinya masih sibuk dengan pemikiran-pemikiran tidak jelasnya tiba-tiba bel
rumahnya berbunyi. Siapa orang yang bertamu selarut ini? Bibinya juga sudah
tidur. Selama ini Melisandre hanya tinggal dengan bibinya. Ibunya sudah
meninggal dan ayahnya pergi entah
kemana. Ayahnyalah yang membuat Melisandre selalu mengacuhkan setiap pria yang
mendekatinya. Dia berpikir ayahnyalah yang menjadi alasan kematian ibunya. Ayahnya
adalah orang yang paling dia benci, yang tega meninggalkan dia bersama pamannya
yang juga sudah meninggal dan bibinya yang sedang tertidur pulas di samping
kamarnya demi wanita lain. Dia menganggap semua pria sama seperti ayahnya.
Dengan
langkah gontai yang menandakan betapa lelahnya dia malam ini dia berjalan ke
ruang tamu. Membuka kunci rumahnya dan tidak diduga-duga orang kurang kerjaan
yang bertamu malam ini adalah pria Hello Kitty itu. Pria yang sedang dipikirkannya.
Kenapa dia tidak jadi ke Jepang? Apakah penerbangannya di tunda lagi?
“Sekarang
giliranku yang bicara. Dengarkan baik-baik,” pria itu menarik napasnya
dalam-dalam menata kalimat yang akan dia ucapkan, sementara Melisandre masih
terpaku di depan pria itu.
“Kau
tadi bilang aku adalah pria pengecut, kan? Jadi disinilah aku sekarang,
Melisandre. Di hadapanmu. Jika aku pergi ke Jepang malam ini maka aku akan
menjadi sampah paling pengecut di dunia ini. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku
tidak peduli tentang Jepang lagi. Kau, Melisandre. Kau adalah hal paling
kuinginkan di dunia ini. Sekarang pengecut ini akan berjuang untuk mendapatkan
cintamu.”
Melisandre
masih terdiam. Biasanya dia akan mengeluarkan kalimat-kalimat sinisnya untuk
meruntuhan mental lawan bicaranya. Tapi kali ini tidak bisa. Dia tidak bisa
berkata apa-apa.
“Melisandre,
aku ..”
Belum
sampai kalimat itu dilanjutkan oleh pria di hadapannya, Melisandre tiba-tiba
langsung memeluknya. Pria itu adalah orang kedua yang pernah dipeluknya setelah
pamannya. “Tidak usah kau lanjutkan lagi kalimatmu. Aku tidak mau menangis malam
ini.”
Pria
itu mendekap Melisandre dengan lembut. Ada rasa kehangatan yang secepat kilat
mengusir kedinginannya berjalan dari rumah ke rumah demi mencari rumah gadis
itu.
“Jadi, bagaiman…”
“Ku
bilang diam! Jangan merusak momen ini. Jangan banyak membual.”
Pria
itu hanya tersenyum, bahagia. Dia akhirnya bisa mendapatkan gadis pujannya,
gadis pembuat kopi, Melisandre.
Mereka
saling berpelukan. Entah untuk berapa lama. Tidak ada kata yang keluar dari
mulut mereka. Tidak ada apa-apa, hanya bahagia.
I think I want
you more than want
And know I need you more than need
I wanna hold you more than hold
When you stood in front of me
I think you know me more than know
And you see me more than see
I could die now more than die
Every time you look at me
And know I need you more than need
I wanna hold you more than hold
When you stood in front of me
I think you know me more than know
And you see me more than see
I could die now more than die
Every time you look at me
(Never seen
anything Quiet like you-The Script)
Comments
Post a Comment