BALADA BADUT RODEN
“Permisi pak, boleh duduk di
sini?” tanya seorang gadis muda yang ingin duduk bersebalahan dengan Pak Rumi
dalam bus malam yang akan berangkat ini.
Terbangun dari lamunannya, Pak
Rumi hanya melihat wajah gadis itu sambil memindahkan tasnya ke bawah kursinya.
Gadis itu pun duduk di kursi itu, menggantikan tas bawaan Pak Rumi.
“Kenalkan pak, nama saya Riana,”
kata gadis itu sambil mengulurkan tangannya ke arah tangan Pak Rumi.
“Oh ya,” kata Pak Rumi sambil
tersenyum setelah berpikir-pikir beberapa saat lalu menjabat tangan gadis itu,
“nama saya Rumi. Panggil saja Pak Rumi.” Ah, apa salahnya ngobrol dengan gadis
ini, tidak ada salahnya juga, terlebih gadis ini bisa membantu mengusir
kebosanan di perjalanan nanti, batin Pak Rumi.
“Bapak mau ke mana ya?” tanya
gadis itu ramah.
***
Hujan masih khusyuk menghunjam
permukaan bumi. Sedikitpun tak memberi peluang kepada manusia untuk keluar dari
tempat berteduhnya. Petrichor sudah resmi lenyap sejak tadi sore sewaktu
orkestrasi rintik-tintik air langit itu mulai ditampilkan. Malam ini, kemungkinan
semua manusia sedang terlelap. Jengah dengan bunyi hujan yang semakin berisik ditambah
dengan dinginnya yang malam ini memang agak keterlaluan.
Namun di sebuah rumah kecil
paling pojok di Desa Roden, ada satu manusia yang masih terjaga dan setia
menikmati irama musisi langit. Pria paruh baya itu sejak tadi sore duduk di
kursi reotnya yang sengaja didekatkan ke jendala untuk diam-diam mengintip
kehidupan dunia di luar rumahnya. Namanya Pak Rumi. Sejak kemarin dia memang
sengaja menanti hujan. Baginya hujan adalah suguhan terbaik yang bisa
dipersembahkan alam untuknya sebagai salam perpisahan.
Pak Rumi ingin berpisah dengan
dirinya. Bukan. Dia bukan ingin bunuh diri. Pak Rumi terlalu pengecut untuk
melakukan tindakan arogan semacam itu. Dia ingin berpisah dengan dirinya yang
sekarang, yang termahsyur di kalangan seluruh penduduk Roden sebagai Pak Badut yang
lucu nan murah senyum.
Malam ini, setelah konser hujan
selesai, dia akan minggat dari desa Roden, tanpa berpamitan kepada seorangpun
warga Roden. Pak Rumi sudah menetapkan hatinya sejak beberapa minggu yang lalu.
Keputusannya sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Uang tabungan hasil
menjadi badut selama lebih dari dua puluh tahunnya pun dirasa sudah cukup untuk
membawanya menemukan kehidupan lain selain Roden. Singkat kata Pak Rumi ingin
pensiun dari dunia perbadutan, terutama dunia perbadutan di desa Roden.
Desa Roden bukanlah desa
sembarangan. Desa itu terkenal dengan julukan desa sejuta pesta. Hal ini
disebabkan oleh kebiasaan semua penduduk Desa Roden yang selalu merayakan ulang
tahunnya. Kebiasaan ini sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang, begitulah
kata-kata yang sering diucapkan sesepuh desa. Saking seriusnya menjaga tradisi
ini, jika ada warga yang lupa kapan tanggal lahirnya maka akan dicarikan lagi
hari ulang tahunnya. Atas dasar hal inilah, pekerjaan sebagai badut ulang tahun
memiliki hirarki kasta yang cukup tinggi disini. Konon, hanya orang-orang
terpilih lah yang berhak dan diperbolehkan menjadi badut desa Roden. Tentu, Pak
Rumi adalah salah satu dari orang terpilih itu.
Sayangnya kisah manis tentang
betapa heroiknya badut desa Roden itu hanya berlatar di masa lalu. Untuk bisa
merasakan euphoria badut Roden, harus mundur beberapa tahun ke belakang,
sebelum kemajuan peradaban, terutama teknologi mengambil alih peran penghibur
dalam setiap perayaan ulang tahun desa Roden. Sudah banyak kawan seperjuangan
Pak Rumi yang pensiun dan banting setir mencari pekerjaan lain.
Boleh dibilang, semenjak lima
tahun yang lalu hanya Pak Rumi seorang lah yang bermata pencaharian sebagai
badut Roden. Selain Pak Rumi memang ada beberapa badut lain, tapi pekerjaan itu
mereka anggap sebagai sampingan. Tak ada lagi yang mau menjadi badut. Walaupun
upah sebagai badut Roden semakin hari semakin menurun tapi Pak Rumi tetap setia
dengan pekerjaannya.
Bagi Pak Rumi melihat orang di
sekitarnya tersenyum dan tertawa adalah hal paling membahagiakan, terutama jika
Pak Rumi adalah tokoh utama dibalik kegembiraan hati orang-orang itu.
Setidaknya prinsip itu yang membuat hati Pak Rumi teguh menjalani peran sebagai
badut Roden. Sampai pada suatu saat, sebulan yang lalu tepatnya, pak Rumi
menemukan momentumnya. Saat itu adalah hari ulang tahun Pak Rakai, teman satu
kelasnya sewaktu SD yang kali ini sudah berkepala empat dengan ekor tiga. Pak
Rumi diundang untuk menjadi salah satu penampil di acara yang cukup mewah itu.
Dia menjadi penampil pertama namun
hanya diberi waktu seperempat jam. Porsi tampilnya semakin hari semakin
mengkerut. Dulunya, dia dibolehkan untuk tampil sepuasnya di setiap perayaan
ulang tahun. Bercanda, berkelakar, menjahili anak-anak nakal dan memainkan
sulap dan atraksi kecil sudah menjadi materi utama penampilan Pak Rumi. Namun
seiring semakin sempitnya waktu yang diberikan, Pak Rumi hanya bisa memilih
salah satu materi saja.
Di pesta ulang tahun Pak Rakai,
Pak Rumi memilih untuk memainkan sulap sederhana yang bisa membuat anak-anak
kecil terpesona. Sulap ini sudah tidak ditampilkan Pak Rumi semenjak beberapa
bulan yang lalu. Ketika Pak Rumi memainkan sulapnya tepuk tangan silih berganti
berdatangan dari berbagai sudut ruangan. Namun ditengah pertunjukan itu, ketika
banyak penonton yang terkesima dengan sulap yang dimainkan Pak Rumi, ada satu anak
yang tidak bertepuk tangan dan cenderung cemberut tiap kali penonton lain
bertepuk tangan.
Pak Rumi tahu benar siapa anak
itu. Namanya Ronda, anak Pak Rakai yang sekarang berusia 10 tahun. Anak itu
sama sekali tidak tertarik dengan sulap yang ditampilkan Pak Rumi. Pada momen
itulah Pak Rumi sadar bahwa dirinya dan penampilanya sudah tidak menarik lagi.
Bahkan anak kecil yang selalu tertawa ketika melihat pertunjukan Pak Rumi pun
sudah jengah dengannya, dengan satu-satunya Badut Roden.
Hal yang paling menyakitkannya
lagi, ketika Pak Rumi selesai tampil dan diganti musik dari DJ dan para tamu
undangan mulai berjoget menyesuaikan ritme musik barat itu, terlihat ada satu
anak kecil yang paling menikmati momen itu, tentu dia adalah Ronda. Melihat hal
itu Pak Rumi seperti di dorong dari tempat duduknya saat itu menuju jurang yang
paling dalam. Hatinya pecah menjadi puing-puing kecil. Pak Rumi pun tersadar
bahwa ini adalah waktu yang tepat baginya untuk pensiun.
Satu-satunya badut murni Roden
itu kalah oleh seorang anak kecil berusia sepuluh tahun.
***
“Kalau boleh saya kasih saran,
lebih baik bapak tidak usah pergi dari Roden,” kata Riana setelah mendengar
kisah Pak Rumi.
“Hati saya sudah bulat mbak. Saya
sudah tidak dibutuhkan lagi di desa itu,” timpal Pak Rumi dengan pasrah,
“lagian ya mbak, ada satu hal kejam yang sudah dilakukan seluruh penduduk Roden
kepada saya. Dulu memang saya masih tidak apa-apa, tapi semenjak beberapa malam
yang lalu pikiraan saya terganggu oleh masalah itu.”
“Hal kejam seperti apa yang bapak
maksud?” tanya Riana cukup penasaran.
Pak Rumi mengambil napas panjang
dan bersiap melanjutkan ceritanya.
(tobecontinued)
***
Yaahhh, bersambung... disitu kadang saya merasa kesal. hehehee
ReplyDeleteNice story,,
@rin_mizsipoel
disitu kadang saya merasa bingung mau ngelanjutinnya gimana :D
Deletejiaah bersambung
ReplyDeleteahaha
DeleteHahahahaaaa, ideeeem ama mbak Rinrin :-P
ReplyDeletePenisiriiiiin
@nurulrahma
bukanbocahbiasa(dot)com
ahaha,, tunggu aja kelanjutannya
DeleteAmpyuuuun, to be continue.
ReplyDeleteSaya juga suka dengan bunyi orkestra rintik-rintik hujan yg dimainkan oleh musisi dari langit.
toss :D
DeleteGUe baru pertama kali mampir ke sini ni
ReplyDeletesalam kenal yaa
di lanjutkan ya ceritanya membuat penasaran gimana lanjutannya